Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Rabu, 02 Oktober 2013



Syiar Islam

Pendahuluan
            Islam sebagai agama yang dibawa oleh seorang utusan pastilah memiliki cara berdakwah atau menyebarkan ajarannya, yang menjadi menarik dari proses syi`ar Islam adalah metode penyebaran, mulai dengan proses sembunyi-sembunyi karena hanya melalui mulut ke mulut dikalangan keluarga dan sahabat dekat Muhammad, kemudian secara terang-terangan dengan deklarasi melalui khutbah amamal Ka`abah (orasi di depan Ka`bah) yang merupakan pusat keramaian kala itu, hingga melalui ekspansi dari wilayah ke wilayah lain, baik melalui perang dan lobying.[1]
            Seiring dengan pesatnya penyebaran Islam yang dimulai dari Hijaz, maka identiklah antara poin Arab yang hampir mengisi semua sisi agama Islam.
            Dari latar belakang ini kemudian muncul perdebatan dan pertanyaan para ahli, apakah penyebaran Islam pada hakikatnya menggunakan Islamisasi atau Arabisasi?
            Untuk mengetahui Islamisasikah atau Arabisasikah penyebaran Islam, maka kita harus melakukan dekonstruksi (mengupas segala bentuk aspek) dan historisasi (mengetahui akar sejarah) cara dakwah Islam.[2]

Wajah Islam, Islamisasi atau Arabisasi?
            Sungguh proses syi`ar Islam tidak semudah membalikkan tangan, karena walaupun Muhammad muda adalah cermin kepribadian baik bagi masyarakat Arab dan sikap Muhammad yang memiliki daya tarik, serta Muhammad yang menjadi magnet bagi kaumnya terkadang membuat para pembesar Arab lainnya menaruh rasa iri dan benci, tidak terkecuali bagi pamannya sendiri yaitu Abu Jahal dan Abu Lahab.
            Setelah Muhammad menerima wahyu yang berbunyi :     يأيها المدثر* قم فأنذر
dia mulai mengajak keluarga dan sahabat dekatnya untuk memahami Islam, walaupun pada volume kecil, namun hal ini sekali lagi tidak mudah, sebab kebiasaan masyarakat Arab yang menyembah banyak tuhan akan dirooling menjadi ketuhanan yang Maha Esa.
            Pada fase pertama, Muhammad dengan sikap lemah lembut, dalam sekejap bisa mengajak beberapa orang yang masuk Islam, diantaranya adalah Khadijah, Ali bin Abi Tholib, Abu Bakar bin Quhafah, Zaid bin Haritsah, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin `Auf, dan Sa`ad bin Abi Waqqash.
            Di fase kedua, para pemeluk Islam mulai melakukan orasi keagamaan di Ka`bah yang merupakan pusat keramaian, sedikit demi sedikit beberapa gelintir da`I muslim mulai berani menunjukkan keislamannya, hal ini tidak lepas dari masuk Islamnya tokoh berpengaruh Quraisy yaitu Hamzah dan Umar al-Faruq. Terlebih telah turun pula ayat agar dakwah Islam secara terang terangan :  فصدع بما تؤمر وأعرض عن المشركين
            Adapun fase ketiga adalah periode dimana kaum muslimin mulai memasuki kancah mengangkat senjata dan melakukan ekspansi ke wilayah lain dengan catatan menyebarkan Islam[3], artinya tidak ada maksud menjadi penjajah atau melakukan praktek kolonialisme.
            Sebenarnya adanya genjatan senjata dalam Islam ini dilakukan karena bermula dari timbulnya penyiksaan yang sadis pada pemeluk agama Islam, sehingga Islam merasa perlu untuk mengangkat senjata agar tidak selalu diremehkan dan dikucilkan serta menjaga kehormatan agama.
            Sedangkan munculnya ide ekspansi ialah bermaksud li i`la`i kalimatillah dengan membumikan Islam di seantero jagad raya.
            Sejarah mencatat sejak berkuasanya rezim Umayyah, pola-pola Arabisasi mulai muncul dan mengakar di kepemerintahan khususnya, seperti persyaratan mutlak menjadi seorang pejabat adalah harus dari orang Arab, adanya kasta kedua bagi orang `ajam dan lain-lain.[4]
            Panasnya kondisi perpolitikan membuat dakwah Islam terkadang menjadi topeng kepentingan politik, sehingga sikap yang diwariskan Muhammad dan shalafusshalih sudah mulai luntur. Hanya sedikit saja para da`i  yang menerapkan dakwah sistem klasik, sebab tidak jarang lahir ulama` yang ditunggangi umara`, terlebih hukum rimba sudah mulai menjelma dalam dunia kepemimpinan, artinya siapa yang kuat, dialah yang akan menguasai percaturan politik dan kekuasaan.
            Maka, masyarakat muslim waktu itu sudah mulai bosan dengan dakwah billisan, sebab tidak jarang kepentingan politik didengungkan. Maka timbullah ide untuk melakukan dakwah yang bersikap independent melalui tulisan, hal ini dipelopori oleh Abdul Hamid al-Khattaat dan diiukuti intelektual muslim lain yang produktif berdakwah melalui goresan tinta.[5]
            Penyebaran Islam pada periode ini dinilai sangat sukses, terbukti dengan banyak wilayah dan daerah baru yang mulai dikuasai, seperti Persia, Andalusia, Kairo, Cordoba dan India.
            Walaupun demikian, namun corak Arabisasi tidak begitu mencolok pada periode ini, seperti adanya pelestarian pada arsitektur bangunan dan budaya-budaya di wilayah-wilayah baru tersebut. Akan tetapi norma-norma Islam yang tidak bisa dipungkiri sangat kental dengan Arabisasi mulai masuk bahkan menjamur.[6]
            Pada era ini muncul tradisi sekolah formal yang dimulai dari Nidzamiyah di Baghdad, Kurawiyyin di Maroko dan Al-Azhar di Kairo yang bisa mengkader mubtadi` tanpa mengikuti hingar bingar arus politik.
            Setelah runtuhnya periode kekhalifahan atau kerajaan dalam Islam akibat serangan kompak masyarakat Eropa pada dunia Islam (perang Salib), maka tidak sedikit para intelektual muslim yang ‘banting setir’ menjadi saudagar muslim, berdakwah sambil bekerja.
            Dari beberapa saudagar muslim ini kemudian muncul pertanyaan, apakah penyebaran Islam melalui Islamisasi atau Arabisasi?
            Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya bila kita membedakan antara Islamisasi dan Arabisasi. Aksin Wijaya menyebutkan bahwa Islamisasi adalah proses penyebaran Islam dengan menekankan nilai-nilai ketauhidan, sedangkan Arabisasi lebih mementingkan kebudayaan yang dibawa, akan tetapi antara Arabisasi dan Islamisasi tidak bisa dipisahkan, sebab keduanya bagaikan ruh dan jasad. Artinya bila tidak seimbang, otomatis yang kita temui hanyalah hantu atau bangkai saja.[7]    
            Berbeda dengan pandangan Aksin Wijaya, Abdurrahman Mas`ud menyampaikan bahwa walaupun ada kedekatan antara Islamisasi dan Arabisasi, namun keduanya tidak boleh menjadi satu jiwa, sebab bagaimanapun Islam berbeda dengan Arab dan tidak setiap Arab adalah berbau Islam, misalnya kurikulum pesantren yang pada hakikatnya tidak berdasarkan pijakan kaum muslimin, akan tetapi merupakan tradisi pendidikan Tripitaka dari agama Budha.[8]
            Menurut hemat penulis, jika bercermin pada beberapa argument yang dibaca, maka sebenarnya proses syi`ar  Islam di Indonesia - bahkan di Arab sekalipun – sebenarnya menggunakan cara Islamisasi, bukan Arabisasi. Artinya nilai ketauhidan dan penyerahan diri pada Tuhan dan Bersaksi atas kerasulan Muhammad, serta menaati semua aturan Islam adalah daya tarik tersendiri. Jadi faktor Arabisasi hanya faktor kebetulan.
            Mengapa tidak? Seperti kita ketahui bersama bahwa pada hakikatnya orang Arab tidak suka dengan Islamisasi yang mengajarkan pemeluknya tentang humanisme manusia. Seperti tidak fanatik pada suku, kesetraan strata sosial, kesetaraan gender, sikap Islam yang inklusif, egaliter dan toleransi.[9]

Kesimpulan   
            Karakteristik penyebaran Islam adalah sikap lemah lembut, berperagai luhur, menghormati pribadi yang lebih tua dan menghargai pribadi yang lebih muda, tidak egois dan adanya kesetaraan gender. Inilah yang kemudian menjadi daya tarik untuk masuk Islam, sebab Islam mengatur sistem kehidupan yang mengantarkan pemeluknya untuk memahami realitas kehidupan secara hakiki. [10]
            Sejauh ini ada dua kiblat atau madzhab ilmu pengetahuan, khususnya ilmu keislaman, antara Timur Tengah sebagai pusat peradaban Islam klasik dan Eropa sebagai Islamic Studies yang berorientasi mengkritisi Islam.
            Dari kedua madzhab ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa metode penyebaran melalui Islamisasi dianggap lebih berhasil daripada mengandalkan Arabisasi. Hal ini disebabkan karena Islam dianggap menjadi solusi jalan tengah diantara dilema politeisme dan agama impor seperti Yahudi dan Nasrani yang memiliki satu kesamaan lekat yaitu mempraktikkan tradisi leluhur.[11]
            Adapun Arabisasi memang tidak bisa dipisahkan, namun keberadaannya mewarnai keberagaman. Bahkan Arabisasi dinilai lebih sebagai adopsi peradaban, dan tentunya yang baik akan dipertahankan dan yang kurang baik akan ditinggalkan.


[1] Muhammad Sa`id Ramadhan al-Bouthi, Fiqh al-Shirah Terj. Mohd Darus Sanawi  (Jakarta : Dewan Pustaka Fajar, 1983) Hal.  44
[2] Suadi Putro, Muhammad Arkoun Tentang Islam dan Modernitas  (Jakarta : Paramadina, 1998)  Hal. 23
[3] Suadi Putro, Muhammad Arkoun Tentang Islam dan Modernitas.  Hal. 48
[4] Burhan Djamaluddin, Sejarah Sastra Arab  (Surabaya : Adab Prees, 1999)  Hal. 15
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam  (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998)  Hal.  54
[6] Djuwairiyah Dahlan, Tarikh Adab Araby  (Surabaya : Jauhar, 2010)  Hal. 27
[7] Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam  (Yogyakarta : Nadi Pustaka, 2012)  Hal.  154-155 
[8] Abdurrahman Ma`ud, Dari Haramayn ke Nusantrara  (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006)  Hal.  25
[9] Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam. Hal.  15-17
[10] Rosidah Dkk, Studi  al-Quran ; Metode dan Konsep  (Yogyakarta : elSaq Press, 2010)  Hal.  191  
[11] Rosidah Dkk, Studi  al-Quran ; Metode dan Konsep  Hal.  14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

huh,