Syiar Islam
Pendahuluan
Islam sebagai agama yang dibawa oleh
seorang utusan pastilah memiliki cara berdakwah atau menyebarkan ajarannya,
yang menjadi menarik dari proses syi`ar Islam adalah metode penyebaran,
mulai dengan proses sembunyi-sembunyi karena hanya melalui mulut ke mulut
dikalangan keluarga dan sahabat dekat Muhammad, kemudian secara terang-terangan
dengan deklarasi melalui khutbah amamal Ka`abah (orasi di depan Ka`bah)
yang merupakan pusat keramaian kala itu, hingga melalui ekspansi dari wilayah
ke wilayah lain, baik melalui perang dan lobying.[1]
Seiring dengan pesatnya penyebaran
Islam yang dimulai dari Hijaz, maka identiklah antara poin Arab yang hampir
mengisi semua sisi agama Islam.
Dari latar belakang ini kemudian
muncul perdebatan dan pertanyaan para ahli, apakah penyebaran Islam pada hakikatnya
menggunakan Islamisasi atau Arabisasi?
Untuk mengetahui Islamisasikah atau
Arabisasikah penyebaran Islam, maka kita harus melakukan dekonstruksi (mengupas
segala bentuk aspek) dan historisasi (mengetahui akar sejarah) cara dakwah
Islam.[2]
Wajah
Islam, Islamisasi atau Arabisasi?
Sungguh proses syi`ar Islam
tidak semudah membalikkan tangan, karena walaupun Muhammad muda adalah cermin
kepribadian baik bagi masyarakat Arab dan sikap Muhammad yang memiliki daya tarik,
serta Muhammad yang menjadi magnet bagi kaumnya terkadang membuat para pembesar
Arab lainnya menaruh rasa iri dan benci, tidak terkecuali bagi pamannya sendiri
yaitu Abu Jahal dan Abu Lahab.
Setelah Muhammad menerima wahyu yang
berbunyi : يأيها المدثر* قم فأنذر
dia mulai
mengajak keluarga dan sahabat dekatnya untuk memahami Islam, walaupun pada
volume kecil, namun hal ini sekali lagi tidak mudah, sebab kebiasaan masyarakat
Arab yang menyembah banyak tuhan akan dirooling menjadi ketuhanan yang
Maha Esa.
Pada fase pertama, Muhammad dengan
sikap lemah lembut, dalam sekejap bisa mengajak beberapa orang yang masuk
Islam, diantaranya adalah Khadijah, Ali bin Abi Tholib, Abu Bakar bin Quhafah,
Zaid bin Haritsah, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin `Auf, dan
Sa`ad bin Abi Waqqash.
Di fase kedua, para pemeluk Islam
mulai melakukan orasi keagamaan di Ka`bah yang merupakan pusat
keramaian, sedikit demi sedikit beberapa gelintir da`I muslim mulai
berani menunjukkan keislamannya, hal ini tidak lepas dari masuk Islamnya tokoh
berpengaruh Quraisy yaitu Hamzah dan Umar al-Faruq. Terlebih telah turun pula
ayat agar dakwah Islam secara terang terangan : فصدع بما تؤمر وأعرض عن المشركين
Adapun fase ketiga adalah periode
dimana kaum muslimin mulai memasuki kancah mengangkat senjata dan melakukan
ekspansi ke wilayah lain dengan catatan menyebarkan Islam[3],
artinya tidak ada maksud menjadi penjajah atau melakukan praktek kolonialisme.
Sebenarnya adanya genjatan senjata
dalam Islam ini dilakukan karena bermula dari timbulnya penyiksaan yang sadis
pada pemeluk agama Islam, sehingga Islam merasa perlu untuk mengangkat senjata
agar tidak selalu diremehkan dan dikucilkan serta menjaga kehormatan agama.
Sedangkan munculnya ide ekspansi
ialah bermaksud li i`la`i kalimatillah dengan membumikan Islam di
seantero jagad raya.
Sejarah mencatat sejak berkuasanya
rezim Umayyah, pola-pola Arabisasi mulai muncul dan mengakar di kepemerintahan
khususnya, seperti persyaratan mutlak menjadi seorang pejabat adalah harus dari
orang Arab, adanya kasta kedua bagi orang `ajam dan lain-lain.[4]
Panasnya kondisi perpolitikan
membuat dakwah Islam terkadang menjadi topeng kepentingan politik, sehingga
sikap yang diwariskan Muhammad dan shalafusshalih sudah mulai luntur.
Hanya sedikit saja para da`i yang
menerapkan dakwah sistem klasik, sebab tidak jarang lahir ulama` yang
ditunggangi umara`, terlebih hukum rimba sudah mulai menjelma dalam
dunia kepemimpinan, artinya siapa yang kuat, dialah yang akan menguasai
percaturan politik dan kekuasaan.
Maka, masyarakat muslim waktu itu
sudah mulai bosan dengan dakwah billisan, sebab tidak jarang kepentingan
politik didengungkan. Maka timbullah ide untuk melakukan dakwah yang bersikap independent
melalui tulisan, hal ini dipelopori oleh Abdul Hamid al-Khattaat dan
diiukuti intelektual muslim lain yang produktif berdakwah melalui goresan
tinta.[5]
Penyebaran Islam pada periode ini
dinilai sangat sukses, terbukti dengan banyak wilayah dan daerah baru yang
mulai dikuasai, seperti Persia, Andalusia, Kairo, Cordoba dan India.
Walaupun demikian, namun corak
Arabisasi tidak begitu mencolok pada periode ini, seperti adanya pelestarian
pada arsitektur bangunan dan budaya-budaya di wilayah-wilayah baru tersebut.
Akan tetapi norma-norma Islam yang tidak bisa dipungkiri sangat kental dengan
Arabisasi mulai masuk bahkan menjamur.[6]
Pada era ini muncul tradisi sekolah
formal yang dimulai dari Nidzamiyah di Baghdad, Kurawiyyin di Maroko dan
Al-Azhar di Kairo yang bisa mengkader mubtadi` tanpa mengikuti hingar
bingar arus politik.
Setelah runtuhnya periode
kekhalifahan atau kerajaan dalam Islam akibat serangan kompak masyarakat Eropa
pada dunia Islam (perang Salib), maka tidak sedikit para intelektual muslim
yang ‘banting setir’ menjadi saudagar muslim, berdakwah sambil bekerja.
Dari beberapa saudagar muslim ini
kemudian muncul pertanyaan, apakah penyebaran Islam melalui Islamisasi atau
Arabisasi?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada
baiknya bila kita membedakan antara Islamisasi dan Arabisasi. Aksin Wijaya
menyebutkan bahwa Islamisasi adalah proses penyebaran Islam dengan menekankan
nilai-nilai ketauhidan, sedangkan Arabisasi lebih mementingkan kebudayaan yang
dibawa, akan tetapi antara Arabisasi dan Islamisasi tidak bisa dipisahkan,
sebab keduanya bagaikan ruh dan jasad. Artinya bila tidak seimbang, otomatis
yang kita temui hanyalah hantu atau bangkai saja.[7]
Berbeda dengan pandangan Aksin
Wijaya, Abdurrahman Mas`ud menyampaikan bahwa walaupun ada kedekatan antara
Islamisasi dan Arabisasi, namun keduanya tidak boleh menjadi satu jiwa, sebab
bagaimanapun Islam berbeda dengan Arab dan tidak setiap Arab adalah berbau
Islam, misalnya kurikulum pesantren yang pada hakikatnya tidak berdasarkan
pijakan kaum muslimin, akan tetapi merupakan tradisi pendidikan Tripitaka dari
agama Budha.[8]
Menurut hemat penulis, jika
bercermin pada beberapa argument yang dibaca, maka sebenarnya proses syi`ar
Islam di Indonesia - bahkan di Arab
sekalipun – sebenarnya menggunakan cara Islamisasi, bukan Arabisasi. Artinya
nilai ketauhidan dan penyerahan diri pada Tuhan dan Bersaksi atas kerasulan
Muhammad, serta menaati semua aturan Islam adalah daya tarik tersendiri. Jadi
faktor Arabisasi hanya faktor kebetulan.
Mengapa tidak? Seperti kita ketahui
bersama bahwa pada hakikatnya orang Arab tidak suka dengan Islamisasi yang
mengajarkan pemeluknya tentang humanisme manusia. Seperti tidak fanatik pada
suku, kesetraan strata sosial, kesetaraan gender, sikap Islam yang inklusif,
egaliter dan toleransi.[9]
Kesimpulan
Karakteristik penyebaran Islam
adalah sikap lemah lembut, berperagai luhur, menghormati pribadi yang lebih tua
dan menghargai pribadi yang lebih muda, tidak egois dan adanya kesetaraan
gender. Inilah yang kemudian menjadi daya tarik untuk masuk Islam, sebab Islam
mengatur sistem kehidupan yang mengantarkan pemeluknya untuk memahami realitas
kehidupan secara hakiki. [10]
Sejauh ini ada dua kiblat atau
madzhab ilmu pengetahuan, khususnya ilmu keislaman, antara Timur Tengah sebagai
pusat peradaban Islam klasik dan Eropa sebagai Islamic Studies yang
berorientasi mengkritisi Islam.
Dari kedua madzhab ini kita bisa
menarik kesimpulan bahwa metode penyebaran melalui Islamisasi dianggap lebih
berhasil daripada mengandalkan Arabisasi. Hal ini disebabkan karena Islam
dianggap menjadi solusi jalan tengah diantara dilema politeisme dan agama impor
seperti Yahudi dan Nasrani yang memiliki satu kesamaan lekat yaitu
mempraktikkan tradisi leluhur.[11]
Adapun Arabisasi memang tidak bisa
dipisahkan, namun keberadaannya mewarnai keberagaman. Bahkan Arabisasi dinilai
lebih sebagai adopsi peradaban, dan tentunya yang baik akan dipertahankan dan
yang kurang baik akan ditinggalkan.
[1] Muhammad Sa`id Ramadhan al-Bouthi, Fiqh al-Shirah Terj.
Mohd Darus Sanawi (Jakarta : Dewan
Pustaka Fajar, 1983) Hal. 44
[2] Suadi Putro, Muhammad
Arkoun Tentang Islam dan Modernitas (Jakarta
: Paramadina, 1998) Hal. 23
[4] Burhan
Djamaluddin, Sejarah Sastra Arab (Surabaya
: Adab Prees, 1999) Hal. 15
[6] Djuwairiyah
Dahlan, Tarikh Adab Araby (Surabaya
: Jauhar, 2010) Hal. 27
[7] Aksin Wijaya, Menusantarakan
Islam (Yogyakarta : Nadi Pustaka,
2012) Hal. 154-155
[8] Abdurrahman
Ma`ud, Dari Haramayn ke Nusantrara
(Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006)
Hal. 25
[9] Aksin Wijaya, Menusantarakan
Islam. Hal. 15-17
[10] Rosidah Dkk, Studi al-Quran ; Metode dan Konsep (Yogyakarta : elSaq Press, 2010) Hal.
191
[11] Rosidah Dkk, Studi al-Quran ; Metode dan Konsep Hal. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
huh,