Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Rabu, 19 Februari 2014



Bahasa dan Hakikat Filsafat Bahasa


Pendahuluan
            Hubungan kajian filsafat dan bahasa seperti gula yang tidak pernah bisa berpisah dengan manisnya. Maka lazimlah bila para filosuf sependapat bahwa hubungan keduanya sangat erat, bahkan tidak dapat dipisahkan.
            Romantisme antara filsafat dan bahasa sebenarnya sudah terjalin sangat kuat sejak zaman Yunani, akan tetapi eksistensinya bisa dikatakan pasang surut, hal ini disebabkan karena perhatian para filosuf dipengaruhi oleh problema tertentu yang sedang menjadi isu trend di zaman itu.
            Seiring berkembangnya zaman,  para filosuf mulai sadar bahwa bahasa merupakan sarana yang utama dalam filsafat, sebab bahasa memiliki washilah untuk filsafat, maka para kaum sophist  mulai menaruh perhatian terhadap bahasa, dan sejak saat  masa inilah berlomba - lomba muncul beberapa karya yang  menjelaskan filsafat bahasa, sebut saja mahakarya Partes Orationis, Oratio, Trivium dan Quadrivium serta lain-lain.[2]

Jabat Tangan Antara Filsafat (dan) Bahasa
            Filsafat merupakan disiplin ilmu yang terus menerus secara continous mencari hakikat sebuah kebenaran, hal ini senada dengan definisinya, yakni cinta akan kebiaksanaan, philosophia. Sementara bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh siapapun untuk memberikan ekspresi, perasaan, keinginan ataupun ungkapan ungkapan hatinya.
            Maka tak salah kiranya jika seorang filosuf berpendapat bahwa hubungan keduanya sangat bersinergi, yakni (dalam pengertian pokok bahwa) tugas utama filsafat adalah analisis terhadap konsep, sedangkan tugas bahasa adalah sebagai jembatan untuk menyampaikan konsep tersebut.
            Ringkasnya, para filosuf memberikan dua pengertian terhadap filsafat bahasa. Pertama, perhatian filosuf  terhadap bahasa dalam menganalisa, memecahkan, dan menjelaskan  problema dan konsep filosofis. Kedua, perhatian filosuf terhadap bahasa sebagai sarana dalam  membahas dan  mencari hakikat bahasa yang  pada gilirannya menjadi sebuah paradigma bagi perkembangan filsafat.[3]
            Karena bahasa merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi dan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari, tentunya bahasa memiliki hakikat tersendiri, utamanya bila disandingkan dengan filsafat yang selalu beraktivitas dan berpangkal untuk menemukan kearifan dalam hidup.
            Bahasa memiliki dua varian, inklusif dan eksklusif. Dimana varian inklusif sering diartikan sebagai bahasa yang tidak digunakan dalam komunikasi sehari-hari, misalnya bahasa musik, bahasa cinta bahkan bahasa semesta. Sedangkan bahasa eksklusif ialah bahasa yang digunakan sebagai komunikasi sehari-hari. Artinya, varian kedua inilah yang lebih cenderung kondrati untuk dijadikan obyek falsafi. Yang dengan varian eksklusif pula kita bisa memaknai sebuah konsep filsafat secara meaningfull maupun meaningless.[4]

Substansi Filsafat Bahasa
            Tanpa bahasa, sungguh para filosuf tidak akan pernah bisa berfilsafat, akan tetapi tanpa filsafat kita masih bisa berbahasa. Namun tentu saja hal ini akan terjadi tanpa berdasarkan argumentasi yang bernalar dan tak arif pula. Begitulah repsentasi makna berfilsafat bahasa yang sangat urgent sekali.[5]
            Kajian bahasa dalam  ranah filsafat bisa dikatakan sebagai pondasi yang kuat untuk membentuk sebuah meaning, karena bahasa memiliki kelemahan-kelemahan yang tidak pernah bisa dipecahkan kecuali dengan menggunakan filsafat. Kelemahan bahasa antara lain ;
1.      Vagueness (kesamaran), artinya bahasa ibarat seperti mata yang tidak pernah bisa melihat pada dirinya sendiri, dia perlu alat bantu yang bernama cermin. Begitu pula bahasa yang samar, perlu bantuan filsafat untuk mengetahui eksistensinya. Misalnya kata kupu-kupu malam untuk menyebutkan wanita penghibur.
2.      Contex-depedence (tergantung pada konteks), bahasa peranannya sangat lentur, sehingga kita mesti mengetahui konteks penggunaannya. Misalnya istilah Jancuk di daerah Surabaya dan wilayah Yogyakarta tentulah berbeda. konteks Jancuk di Surabaya menunjukkan sikap kedekatan, seperti contoh ajakan ngopi antara seorang kawan yang sangat lazim  menggunakan istilah ; cuk, ayo ngopi. Bahkan sampai ada brand yang memproklamirkan dirinya bernama Cak-Cuk (diambil dari Jancuk). Fenomena ini sungguh akan sangat mustahil terjadi di wilayah Yogyakarta, sebab konteks Jancuk memiliki konteks yang jorok menurut mereka.
3.      Misleadingness (menyesatkan), tidak jarang bahasa dituturkan dengan kecenderungan emosi yang tidak terarah atau  istilah lainnya bahasa dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Seperti bahasa orasi tim kampanye salah satu partai yang berseru wa laa taqrabaa hadzihi as-syajarah untuk melarang massa mencoblos salahsatu partai yang berlogo pohon.[6]

            Maka karena kerancauan inilah kemudian muncullah aliran-aliran filsafat bahasa, seperti Atomisme logis, Positivisme logis dan Filsafat bahasa biasa ( ordinary language philosophy ).
            Atomisme logis dipelopori oleh Bertand Russel, aliran ini mendewakan kesederhanaan dalam ide-ide ungkapan, sehingga mudah difahami, dapat dicerna oleh setiap orang dan logis. Aliran ini menolak keras ungkapan yang tidak masuk akal, seperti  Jiwa itu adalah Abadi, waktu adalah tidak real, maupun roh absolout.
            Sedangkan Positivisme logis merupakan aliran yang digagas oleh kelompok yang menamakan dirinya lingkaran Wina, Austria. Seperti namanya, aliran ini corak pemikirannya tentu saja bersifat positif dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Misalnya ungkapan perbuatan ini adalah benar dan hukuman itu menyakitkan.
            Adapun Filsafat bahasa biasa (yang sering pula dianggap aliran Oxford, karena mayoritas diikuti oleh aktivis Oxford) merupakan aliran yang berprinsip jangan menanyakan makna, tapi tanyalah tentang penggunaan bahasa. Contohnya ungkapan Amin lebih tua dari bapaknya, ungkapan ini maknanya diluar logika namun penggunaannya sudah standart, baku dan benar.[7]

Penutup
            Bahasa jelas adalah simbol dan makna yang mewakili setiap pemikiran. Berdasarkan realita ini, siapapun senantiasa akan memiliki relasi baik dengan bahasa termasuk seorang filosuf. Filosuf yang dikenal dengan karakter bijak dan maju dalam mengungkapkan hasil pemikirannya tanpa bantuan bahasa takkan pernah berkutik.
            Dari fenomena ini kajian filsafat bahasa memiliki hakekat yang sangat vital dalam tradisi keilmuan. 

Daftar Bacaan
Alwasilah, Chaedar.,  2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Hidayat, Ahmad Asep., 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan            Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya
MS, Kaelan., 2002. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta:           Paradigma




  [2] Kaelan MS, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya  ( Yogyakarta : Paradigma, 2002)  Hlm. 2
                [3] Kaelan MS, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya ..........................  Hlm. 5
                [4] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda  ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009)  Hlm. 13
                [5] A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan  ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2008) Hlm. 14   
                [6] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda.......Hlm. 32-35
                [7] Kaelan MS, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya......... Hlm. 98 - 178