Islam dan Budaya
Lokal di Indonesia
Pendahuluan
Islam di Indonesia
sama halnya dengan agama Hindu dan Budha, yakni agama impor. Adapun agama
pribumi masyarakat Indonesia adalah kepercayaan animisme dan dinamisme yang
sudah mengakar dan turun temurun.
Awal mula
kedatangan Islam ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari Arab, India maupun
China, sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan wilayah strategis
bagi para saudagar.
Islam kemudian
memiliki strategi khusus untuk mengajak masyarakat memeluk agama Islam, adalah
walisongo yang memprakarsai strategi rekrutment manjur dengan memasukkan
Islam pada unsur budaya lokal namun tentunya tetap dengan nilai yang Islami.
Dari sini kemudian
mulai gencarlah dakwah Islam dengan halus, yang pada dasarnya melalui
budaya-budaya yang telah ada dalam masyarakat Indonesia.
‘Jabat Tangan’ Islam dan Budaya Indonesia
Para saudagar
muslim yang tiba di Indonesia memiliki visi awal berdagang, lalu mereka ibarat
pepatah menyelam sambil minum air, mendakwahkan Islam dengan cara
yang halus. Sebab mereka melihat kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat
jauh dari nilai luhur, baik secara sosial masyarakat dan kehidupan beragama.
Dalam hal sosial
masyarakat misalnya, masih banyak rasisme terhadap masyarakat kecil yang
dianggap tidak bermartabat, sebaliknya ada pula kaum elit yang lahir dari
keadaan ekonomi yang lebih baik. Penyebabnya tidak mustahil dibawa oleh ajaran
Hindu dan Budha yang menerapkan kasta dalam kehidupan.
Adalah Sayyid
Jumadil Akbar pelopor yang memiliki inisiatif untuk melakukan dakwah di
Indonesia - yang kala itu masih bernama Nusantara - , walaupun sebenarnya
banyak saudagar muslim sebelum dia yang masuk ke Indonesia.
Jumadil Akbar
mengawali niat baiknya itu dengan meminta bantuan pada penguasa Dinasti Utsmani
yang terletak di Istanbul Turki untuk memberikan Muballigh yang akan
menemani dia berdakwah.
Maka permintaan
Jumadil Akbar diamini sang khalifah dengan memberikan delapan orang
terpilih yang memiliki keahlian berbeda-beda, ada yang ahli dibidang agama,
perang, pengobatan dan memiliki keahlian di bidang supranatural. Nah, merekalah yang kemudian menjadi
asal-usul kelahiran walisongo di Nusantara.
Cara dakwah mereka
ialah dengan melestarikan tradisi baik yang bisa diadopsi Islam dan kemudian
memasukkan nilai-nilai baru yang akan memberikan warna untuk perubahan
kehidupan masyarakat.
Hal ini tercermin
dari banyak aspek, seperti membiarkan bangunan bercorak Hindu dan Budha dan
membiarkan adat adanya peringatan bagi orang yang telah meninggal serta
ukiran-ukiran pada batu nisan makam.
Selain itu
beberapa Sunan (julukan bagi anggota walisongo) memberikan pelajaran melalui
budaya yang di gandrungi masyarakat, contohnya seni dan sastra oleh Sunan
Bonang dan Sunan Drajat, wayang kulit oleh Sunan Kalijaga dan lain-lain.
Penyebaran yang
bergenre seperti ini mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat,
sehingga penyebaran Islam terlihat lebih instan dan mudah diterima. Sebagai
data penulis akan menjabarkan beberapa contoh budaya lokal yang menjadi senjata
berdakwah, misalnya kayang kulit.
Sunan Kalijaga
membumikan Islam melalui wayang kulit, sebab wayang kulit adalah pertunjukan
yang sangat disenangi masyarakat. Maka Sunan Kalijaga menjalankan tradisi yang
sesuai kultur masyarakat ini untuk menjaring mereka dalam perangkap baik yang
bernama Islam.
Walaupun wayang
kulit pada dasarnya berasal dari kebiasaaan agama Hindu untuk menceritakan
kisah Heroic dari para dewa, akan tetapi Sunan Kalijaga telah mengganti
penokohan, latar, alur dan pesan sebuah kisah menjadi bernuansa Islami.
Cerdiknya, Sunan
Kalijaga membuat ucapan syahadat sebagai karcis untuk menikmati wayang yang dia
prakarsai, maka otomatislah mereka yang menonton masuk Islam. Selain itu, tokoh
Yudistira dewa yang memiliki azimat sakti diganti menjadi syahada yang tokoh
penting yang menjamin keselamatan, dan hal ini mengacu pada kalimat syahadat
yang merupakan miftahul jannah.
Selain itu, Bima
yang merupakan sosok pahlawan yang kekar, tegak dan kokoh dalam konteks Sunan
Kalijaga diganti dan digambarkan dengan Shalat. Maka shalat yang merupakan
tiang agama menjadi pedoman masyarakat penikmat wayang kala itu.
Penutup
Begitulah sarana
dakwah para penyebar agama Islam yang membuat Islam ‘berjabat tangan’ dengan
budaya lokal. Akulturasi (percampuran dua budaya) ini kemudian menjadi senjata
yang ampuh dan sukses, semoga generasi penerus mampu meneladani dan meneruskan
perjuangannya.
Daftar Bacaan
Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam (Yogyakarta : Nadi
Pustaka, 2012)
Badruddin Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman (Jakarta : Gema Insani Press, 1995)
Dudung Abdurrahman (Ed), Mozaik Sejarah Islam (Yogyakarta : Nusantara Press, 2011)
Purwadi, Sejarah Sunan Kalijaga (Yogyakarta : Persada, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
huh,