Benar-benar
congkak manusia, mereka mampu menciptakan tuhan atas nama kehendaknya, padahal
membuat seekor ulatpun mereka tak bisa.
Allahuakbar, sungguh Tuhan Maha
Agung
Nuansa
hari raya masih seperti biasa, bersama kekompakan jabat tangan yang dilakukan
di Masjid-Masjid usai shalad Ied, inilah hari yang besar, hari yang ada
karena history kehebatan Ibrahim saat menerima takdir untuk ‘membunuh’
Ismail anak kesayangannya.
Duhai
Ibrahim, setegar apakah hatimu sehingga tega kau mengekskusi buah hati? Duhai
Ismail, bagaimana kau menyembunyikan airmata kala ayahmu dengan bangga
melakukan perintahnya? Oh, alangkah dua insan ini sangat sabar matahatinya,
semua demi menjalankan takdir sang kuasa. Allahuakbar, malaikatpun meneteskan
airmata melihat kejadian ini, sungguh fenomena.
Inilah
pelajaran bagi kita, pelajaran yang mengajarkan cara ridha. Cara percaya pada
jalan takdir sang maha kuasa.
Apakah
kita harus menolak takdir nyata yang tidak kita suka? Tidak! Sungguh walaupun
semua mahluk yang ada di bumi bersekutu untuk menggagalkan rencana Allah,
niscaya mereka tak akan pernah bisa. Atau andaiakan semua mahluk bersekutu
untuk membuat sesuatu yang tidak Allah rencanakan, niscaya mereka akan sia-sia
saja.
Masihkah
saat mendengar takbir berkumandang hati kita masih congkak dan sombong? Aku
yakin sebenarnya kita tahu bahwa hanya Allahlah yang layak untuk sombong. Atau
semoga saat mendengar Takbir kita telah bersaksi dan meneteskan airmata karena
telah merebut hak Allah.
Adikku,
aku memiliki harapan besar, harapan yang tidak pernah terlaksanakan, harapan
yang tidak pernah terwujud, harapan yang hanya tersimpan dalam sanubari. Yaitu
harapan untuk menjadi Ismail bagi Ibrahim.
Maka
aku titipkan semuanya padamu, aku titipkan senyum bahagia yang tidak pernah aku
lihat, aku titipkan pandangan mata yang selalu memandang dengan kasih sayang,
aku titipkan tangan yang menuntun dalam hal kebaikan dan aku titipkan secercah
cahaya doa untuk masa depan.
Adikku,
aku masih seperti dulu. Ingatkah kau saat kita tidur dengan bantal yang sama
namun dengan mimpi berbeda? ataukah engkau sudah lupa pada bantal itu, lalu
membiarkannya menjadi saksi bisu?
Adikku,
usai shalat ied aku sangat ingin memeluk tubuhmu, menghilangkan rasa
rindu yang kian waktu terus memuncak. Kemudian aku ingin menyaksikan pemotongan
hewan qurban bersamamu, supaya kita tahu apakah hakikat qurban itu, dik. Lalu,
akupun ingin menyantap makan siang bersamamu, sebab akhir-akhir ini entah aku
atau engkau telah lupa pada meja makan yang biasa kita tempati bersama, meja
makan yang dulu menjadi tempat canda tawa dan kini menjadi meja makan yang
gelap gulita, karena disitu aku tak pernah melihatmu lagi.
Adikku
yang baik, simpanlah suratku ini. Biarlah zaman dan waktu yang membacanya.
Jadikan surat ini seperti surat Abdullah pada ayahnya Amr bin Ash saat menjadi
Gubernur Mesir untuk selalu berada di jalanNya. Tolong jangan jadikann surat
ini seperti surat Muhammad yang juga putra Amr bin Ash, sebab Muhammad lebih
mendorong sang ayah untuk lebih memilih kehidupan dunia dari pada jalan yang
lurus padaNya.
Owh
iya, sampaikan juga salamku pada ibu. Perempuan lembut yang tak pernah lelah
menyayangi anaknya, perempuan hebat yang bisa menyimpan rindu diatas matahari,
perempuan luarbiasa yang telah melahirkanku, perempuan yang karenanya aku ada,
perempuan yang mengenalkanku pada Quran, perempuan yang dengan airmatanya
selalu membuatku bahagia, perempuan diatas perempuan lain.
Yogyakarta, 14 Oktober 2013
Surat
yang kutulis tidak dengan tinta tapi dengan airmata.
A. Salman Hanani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
huh,