Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Senin, 14 Oktober 2013

Benar-benar congkak manusia, mereka mampu menciptakan tuhan atas nama kehendaknya, padahal membuat seekor ulatpun mereka tak bisa.

Allahuakbar, sungguh Tuhan Maha Agung
                Nuansa hari raya masih seperti biasa, bersama kekompakan jabat tangan yang dilakukan di Masjid-Masjid usai shalad Ied, inilah hari yang besar, hari yang ada karena history kehebatan Ibrahim saat menerima takdir untuk ‘membunuh’ Ismail anak kesayangannya.
                Duhai Ibrahim, setegar apakah hatimu sehingga tega kau mengekskusi buah hati? Duhai Ismail, bagaimana kau menyembunyikan airmata kala ayahmu dengan bangga melakukan perintahnya? Oh, alangkah dua insan ini sangat sabar matahatinya, semua demi menjalankan takdir sang kuasa. Allahuakbar, malaikatpun meneteskan airmata melihat kejadian ini, sungguh fenomena.
                Inilah pelajaran bagi kita, pelajaran yang mengajarkan cara ridha. Cara percaya pada jalan takdir sang maha kuasa.
                Apakah kita harus menolak takdir nyata yang tidak kita suka? Tidak! Sungguh walaupun semua mahluk yang ada di bumi bersekutu untuk menggagalkan rencana Allah, niscaya mereka tak akan pernah bisa. Atau andaiakan semua mahluk bersekutu untuk membuat sesuatu yang tidak Allah rencanakan, niscaya mereka akan sia-sia saja.
                Masihkah saat mendengar takbir berkumandang hati kita masih congkak dan sombong? Aku yakin sebenarnya kita tahu bahwa hanya Allahlah yang layak untuk sombong. Atau semoga saat mendengar Takbir kita telah bersaksi dan meneteskan airmata karena telah merebut hak Allah.
                Adikku, aku memiliki harapan besar, harapan yang tidak pernah terlaksanakan, harapan yang tidak pernah terwujud, harapan yang hanya tersimpan dalam sanubari. Yaitu harapan untuk menjadi Ismail bagi Ibrahim.
                Maka aku titipkan semuanya padamu, aku titipkan senyum bahagia yang tidak pernah aku lihat, aku titipkan pandangan mata yang selalu memandang dengan kasih sayang, aku titipkan tangan yang menuntun dalam hal kebaikan dan aku titipkan secercah cahaya doa untuk masa depan.
                Adikku, aku masih seperti dulu. Ingatkah kau saat kita tidur dengan bantal yang sama namun dengan mimpi berbeda? ataukah engkau sudah lupa pada bantal itu, lalu membiarkannya menjadi saksi bisu?
                Adikku, usai shalat ied aku sangat ingin memeluk tubuhmu, menghilangkan rasa rindu yang kian waktu terus memuncak. Kemudian aku ingin menyaksikan pemotongan hewan qurban bersamamu, supaya kita tahu apakah hakikat qurban itu, dik. Lalu, akupun ingin menyantap makan siang bersamamu, sebab akhir-akhir ini entah aku atau engkau telah lupa pada meja makan yang biasa kita tempati bersama, meja makan yang dulu menjadi tempat canda tawa dan kini menjadi meja makan yang gelap gulita, karena disitu aku tak pernah melihatmu lagi.
                Adikku yang baik, simpanlah suratku ini. Biarlah zaman dan waktu yang membacanya. Jadikan surat ini seperti surat Abdullah pada ayahnya Amr bin Ash saat menjadi Gubernur Mesir untuk selalu berada di jalanNya. Tolong jangan jadikann surat ini seperti surat Muhammad yang juga putra Amr bin Ash, sebab Muhammad lebih mendorong sang ayah untuk lebih memilih kehidupan dunia dari pada jalan yang lurus padaNya.
                Owh iya, sampaikan juga salamku pada ibu. Perempuan lembut yang tak pernah lelah menyayangi anaknya, perempuan hebat yang bisa menyimpan rindu diatas matahari, perempuan luarbiasa yang telah melahirkanku, perempuan yang karenanya aku ada, perempuan yang mengenalkanku pada Quran, perempuan yang dengan airmatanya selalu membuatku bahagia, perempuan diatas perempuan lain.

Yogyakarta,  14 Oktober 2013
Surat yang kutulis tidak dengan tinta tapi dengan airmata. 
A. Salman Hanani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

huh,