Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Rabu, 30 Oktober 2013



Perang Dalam Kacamata Islam

Pendahuluan
            Islam selalu saja diidentikkan dengan perang, mungkin karena pada awal mula penyebarannya lebih banyak terjadi perang antara pemeluk Islam dan penolak Islam. Padahal sejatinya Islam merupakan agama yang rahmatan lil `alamin, dan atas dasar inilah sangat mustahil jika Islam lebih menyukai kekerasan dan sadisme dalam penyebarannya.[1]
            Jika para orientalis memaparkan bahwa Islam disebarkan dengan pedang yang terhunus, maka intelektual muslim lebih membela sejarah penyebaran Islam, argumennya adalah berkaitan dengan menjaga martabat dan kehormatan Islam dengan menghunuskan pedang pada setiap golongan yang mengancamnya.
            Maka jika diilustrasikan, Islam membawa pedang bukan untuk menyerang, tapi Islam membawa pedang untuk melindungi dan menjadikannya tameng sebagai simbol kejantanan.

Perang Sebagai Simbol Arab
            Sebenarnya sebelum Islam datang ke Arab, bangsa Arab sangat gemar sekali melakukan perang, hal ini terjadi pada suku-suku yang tinggal di gurun pasir.
            Kehidupan mereka yang nomaden membuat aturan kehidupan seperti hukum rimba, artinya siapa yang kuat, maka dialah yang berkuasa. Fenomena ini bermula dari kisah heroic para Tuhan yang mereka sembah. Yaitu Uzza, Lata dan Manat. Diantara tiga dewa tersebut, adalah Manat yang dianggap sebagai berhala paling berpengaruh, ibarat di dalam mitologi Yunani, dia adalah putra mahkota Zeus (Tyche) yang sangat berkuasa.[2]
            Masyarakat Arab yang hidup dengan beraneka ragam suku dan rasa kesukuan yang dimilikinya seringkali membuat faham fanatik dan dari kesukuan ini pula timbul peranan yang memunculkan Orde Ksatria, chivalry. Kemudian lahir juga upaya untuk saling mendominasi hingga berakhir dengan perang.
            Contoh beberapa perang yang terjadi sebelum Islam datang adalah perang antar suku untuk menunjukkan siapa yang terkuat dan menjadi singa padang pasir, perang perebutan sumur Zamzam, perang pasukan Gajah (yang diabadikan Quran melalui Surat Al-Fiil) dan lain-lain
            Perang dalam benak suku Arab bukan masalah siapa yang kalah atau siapa pemenangnya, perang lebih diposisikan sebagai kehormatan. Maka sebuah anugerah yang besar bila mereka bisa berpartisipasi dalam perang terlebih untuk membela kaumnya.[3]

Posisi Perang Dalam Islam
            Pada dasarnya Islam sangat anti perang, coba kita fahami makna harfiah, Islam berarti menyelamatkan. Jadi perang bukanlah esensi penyebaran Islam, bahkan sebenarnya Islam datang untuk menghapuskan peperangan di dunia dan menjadikan dunia aman dan selamat. Dapat dikatakan bahwa Islam berusaha menyatukan pemeluknya dengan institusi kekeluargaan, innamal mu`miniina ikhwah.[4]
            Bahkan Nabi Muhammad pernah melakukan pujian terhadap dewa masyarakat Qurays demi menjauhi peperangan, hal ini tercermin dari sabdanya terkait para dewa tersebut, beliau berkata : “Mereka (para berhala) laksana burung-burung mulia, yang wasilahnya sangat diperlukan bagi kita”, hal ini merupakan respon dari adanya konflik antar pemeluk agama di Mekkah[5]
            Akan tetapi perlu direnungkan bersama bahwa Islam yang hadir ditengah budaya (perang) yang seperti ini jelas dilematis, disatu sisi Islam harus menyebarkan kedamaian, akan tetapi disisi lain Islam tidak boleh tinggal diam, sebab jika diam (tidak melawan pada keadaan yang kadang memaksa berperang) maka Islam akan terus tertindas. Fakta ini tercermin dari prosesi dakwah Nabi yang bermula dari sembunyi-sembunyi dan secara deklarasi umum di depan publik.
            Terlebih lagi Islam yang lahri di Arab secara geografis terletak diantara kekaisaran besar Romawi, Persia dan Byzantium sangat kental dengan perang, bahkan harus waspada dari serangan dinasti dan emperium tersebut.[6]
            Islam yang pada waktu kemudian mulai menemukan jati diri dan menyebarkan ajarannya ke penjuru dunia tentulah tidak serta-merta mengaplikasikan perang, akan tetapi Islam memberikan solusi alternatif bagi wilayah yang akan dimasuki sebagai lahan dakwah dengan ; pertama, seruan masuk Islam. Jika mereka mengabaikan, maka membayar pajak adalah pilihan kedua, yang ketiga barulah perang menjadi jawaban terakhir dari alternatif yang diberikan. Berikut ini beberapa contoh (alasan) terjadinya perang dalam Islam ;
1.      Perang Badar dan Uhud
            Badar Terjadi karena serangan kaum Qurays yang tidak hanya mengatasnamakan agama, tapi juga ekonomi Arab kala itu. Sedangkan Uhud terjadi karena sikap balas dendam kaum Qurays yang membara karena kekalahannya dalam perang Badar.
2.      Perang Bani Nadhir dan Khandaq
            Terjadi karena ego suku yang mengakar pada kaum Arab, dan Islam hadir untuk meredam suku lain yang dikhawatirkan melakukan hal yang sama serta adanya provokasi Bani Nadhir pada kelompok kafir, sehingga mereka tersulut api tipu muslihatnya.
3.      Perang Quraidhah dan Khaibar
            Usaha nabi untuk memastikan tiadanya kaum pembangkang di masyarakat Yahudi Madinah.
4.      Perang Hudaibiyah
            Berawal dari kerinduan kaum Muhajirin untuk datang ke Baitullah, akan tetapi ada kelompok yang menghadang mereka.
5.      Perang Mut`ah
            Penyebabnya karena terbunuhnya delegasi ummat Islam saat melakukan korespondensi dengan Hercules
6.      Fathu Makkah
            Berawal dari Janji yang dilanggar orang Mekkah
7.      Perang Hunain dan Perang Tabuk
            Penyerangan terhadap Umat Islam

Penutup
            Bila kita amati, sebenarnya peperangan yang terjadi dalam sejarah Islam tidak terjadi karena problema yang kecil, akan tetapi menyangkut masalah besar yang jika didiamkan akan menjadi fenomena yang rumit untuk dipecahkan, maka perang adalah keputusan final jika tidak menemukan kata sepakat.
            Islam selalu cinta damai dan Islam senantiasa menjadikan keselamatan sebagai azas kehidupan, maka sungguhlah perang bukan jalan yang dipilih untuk melakukan ekspedisi atau kolonialisme untuk menjajah daerah yang lemah.


                [1] Lihat : Akbar S. Ahmed, Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Society  (New Delhi : Vistar Publication, 1990) atau edisi terjemahannya karya Zulfahmi Andri, Membedah Islam  (Bandung : Penerbit Pustaka, 1990)  Hlm.  24
                [2] Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999) Hlm. 51. Buku ini hasil terjemah Imam Baehaqi atas buku The Origin and Development of Islam ; An Essay On Its Socio-Economic Growt
               
                [3] Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam....Hlm. 60
                [4] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam  (terj. Ghufron A. Mas`adi) (Jakarta : RajaGrafindo, 1999)  hlm. 12. Atau lihat judul aslinya  A History of Islamic Societies
                [5]  Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam...Hlm. 69
                [6]  Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam...Hlm. 104

Senin, 21 Oktober 2013



Review Tesis:[1]
STILISTIKA
DALAM DRAMA BAJMALIYUN


Judul Tesis          : Gaya Bahasa Dalam Naskah Drama Bajmaliyun Karya Taufiq Hakim (Analisis Stilistika)
Pengarang                : Mohammad Rofiqi, S.S., M.Hum
Penerbit                   : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2011.

Sekilas Riwayat Mohammad Rofiqi
            Mohammad Rofiqi mengawali dunia pendidikannya di Pesantren Al-Amien Prenduan, setelah lulus dari program TMI (Tarbiyatul Muallimin al-Islamiyah) pada tahun 1999, dia melanjutkan studi ke UIN Sunan Kalijaga dan melabuhkan pilihan belajar di Fakultas Adab dan Humaniora jurusan Bahasa dan Sastra Arab dan dinyatakan lulus pada tahun 2006. Kemudian kehausannya menimba ilmu membawanya menjadi Magister Humaniora dari almamater yang sama serta dengan konsentrasi yang sama pula, yakni Ilmu Bahasa Arab pada (2011).
            Sekarang kesibukannya masih berkutat di dunia Bahasa Arab dengan menjadi tenaga edukatif di beberapa lembaga, diantaranya di kajian bahasa UII dan UIN Yogyakarta [3].

Kandungan Tesis Gaya Bahasa Dalam Naskah Drama Bajmaliyun Karya Taufiq  Hakim (Analisis Stilistika)
            Unsur bahasa dan sastra pada sebuah karya merupakan unsur penting, sebab tanpa keduanya takkan muncul sebuah karya. Sastra tidak akan mungkin diucapkan tanpa bahasa, begitupun bahasa tak menjadi indah tanpa sastra. Dengan ini lahirlah sebuah karya yang penuh dengan bahasa dan sastra.
            Oleh karena itu maka penggunaan bahasa dalam sebuah karya akan sangat menentukan  makna karya sastra, jadi lahirlah kemudian kajian bahasa dalam karya sastra, salah satunya dikenal dengan istilah stilistika[4].
            Stilistika  merupakan ilmu yang digunakan untuk menyelidiki bahasa yang ada dalam karya sastra[5] .
            Stilistika yang dalam bahasa Arab dikenal dengan ilm al-usluub berguna untuk menyelidiki bahasa yang digunakan dalam menyelami makna karya sastra [6].
            Diantara karya sastra yang dapat di bedah dengan stilistika adalah puisi, prosa dan drama. Dalam hal ini penulis lebih memilih drama sebagai bahan penelitian, sebab drama sering lebih dianggap sebagai sarana mengungkapkan perasaan dan pikiran dengan total, karena dialog yang terjadi harus dilakukan dengan power, akting dan penyesuaian yang baik dengan teks.
            Sebenarnya Bajmaliyun buah karya sastra drama Taufiq Hakim ini diadopsi dari Pygmalion, karya Ovid, penyair Yunani yang fenomena[7].
            Karya sastra drama ini mengisahkan cerita seorang pemahat hebat yang kemudian menghasilkan patung cantik dan eksotis, patung yang terbuat dari gading ini diberi nama Galateya. Pygmalion, sang pemahat menginginkan patungnya hidup seperti manusia pada umumnya dan kemudian bisa bercinta dengannya.
            Perbedaan karya Pygmalion dengan Bajmaliyun adalah Ovid membuat happy ending, sedangkan Taufiq Hamik membuat sad ending bahkan menjadi tragedi.

Metodologi Penelitian Yang Digunakan
                 Adapun metode penelitian yang merupakan kajian pustaka ini meliputi :
1. Penentuan Sampel dan Sumber Data
a. Sumber Primer ; berisi karya sastra drama Bajmaliyun
b.Sumber Sekunder ; data di luar Bajmaliyun yang ada kaitannya dan memiliki relevansi. Hal ini baik berupa buku, jurnal dan lain-lain.
2. Pengumpulan Data
a. Dengan pembacaan dan penghayatan pada data dengan berulang-ulang dan teliti.
b. Melakukan pengumpulan data. Biasanya dengan metode simak dan catat.
3. Klasifikasi dan Analisis Data
                Klasifikasi dilakukan setelah data terkumpul dan memberikan jawaban pada rumusan masalah, kemudian dilakukan langkah berikuit:
a.  Reduksi data ; proses seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan.
b. Display data ; menyajikan informasi atau data yang di temukan.
c.  Penarikan simpulan ; proses esensial karena pada fase ini kita mesti melakukan penafsiran intelektual pada kesimpulan yang diperoleh.

Kesimpulan dan Kritik
            Gaya bahasa merupakan susunan perkataan yang diungkapkan karena perasaan pengarang yang mendalam dan menimbulkan perasaan yang dalam pula bagi pembaca. Stilistika sebagai ilmu yang mengupas gaya bahasa akan memberikan penjelasan terkait maksud dari setiap karya sastra. Dan dengan stilistika juga, kita bisa mengetahui hakikat antara karya sastra dan karya non sastra karena kedalaman maknanya[8].
            Taufiq Hakim yang merupakan sastrawan besar modern terkadang mencoreng nama besarnya sendiri dengan karya yang telah pernah ada. Alur cerita, tema, setting, hikmah dan kisah heroik karya Bajmaliyun dianggap tidak kreatif dan cenderung monoton. Jika di ilustrasikan, hal ini membuat pembaca lebih memilih setia daripada cantik. Artinya kisah yang disajikan bisa ditebak.
            Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode tradisional dan klasik sehingga tidak memiliki urgensi untuk melahirkan temuan baru dalam bidang karya sastra, seharusnya semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula metodologi penelitian bahasa, dan tidak harus kaku pada teori bahasa, namun bisa juga menggunakan teori sosial untuk mengetahui makna sebuah bahasa, melalui psikologibahasa, sosiologibahasa maupun hermeneutika bahasa misalnya.       



 

[1]Tulisan ini merupakan tugas matakuliah Metodologi Penelitian Bahasa yang diampu oleh Prof. Dr. H. Taufiq Ahmad Dardiri, SU. pada Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Ilmu Bahasa Arab, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2013.
[2]Penulis Review adalah Mahasiswa semester 1  pada Program Studi Agama dan FIlsafat, Konsentrasi Ilmu Bahasa Arab, Program Pascasarajana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2013. Tulisan ini bisa juga dibaca pada blog pribadi penulis di www.abdullahhanani.blogspot.com
[3] Lihat Tesis: Mohammad Rofiqi,  Gaya Bahasa Dalam Naskah Drama Bajmaliyun Karya Taufiq  Hakim (Analisis Stilistika),  (Yogyakarta: UIN Suka Press, 2011)
                [4] Slamet Muljana dan Simanjuntak, Metode Penelitian Sastra ; Epistomoligi, Model, Teori & Aplikasi  (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2003) Hlm. 69
                [5] Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta : Gramedia, 1983) Hlm157
         [6] Fathullah Ahmad Sulayman, Al-Ushluubiyyah ; Madkhal Nazariyyah wa DiraasahTathbiqiyyah (Kairo : Maktabah al-Adab, 2004)  Hlm. 7
             [7] Edith Hamilton, Mitologi Yunani, (terj). Asep Rachmatullah, (YK: Logung Pustaka, 2009) Hlm. xxi
                [8] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika  (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1993) Hlm. 14-15