Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Minggu, 13 Oktober 2013


Lepaskan Kacamatamu, kawan...!

Jadilah seperti angin yang selalu menyapa dan menyejukkan
tanpa peduli bisa dilihat atau tidak (Abu Haidlar Fatih)

            Beberapa hari ini saya selalu mengikuti tulisan dan orasi ilmiah dari Prof. Akh. Minhaji, P.hd, mutiara kata dan sentilannya seakan-akan membuat saya tidak lagi menjadi seperti petani yang terkadang bosan dengan bayangan mencangkul tanah setiap hari, atau tidak pula menjadi seperti nelayan yang hampir tidak merasa amis saat memeluk ratusan kilogram ikan di laut tiap dinihari, bahkan saya merasa tidak lagi menjadi kuli bangunan yang rela memanggang diri di siang hari.
            Kalamnya memiliki power, sehingga saya serasa menjadi seorang penyelam yang bisa menyaksikan keindahan surga samudera dengan ribuan jenis batu karang, ikan-ikan yang elok dan siluet yang tak pernah ada di daratan.
            Guru besar yang merupakan murid dari ilmuan barat Prof. Wael B Hallaq ini membuat kita bisa memandang dunia tanpa kacamata apapun, sehingga kita bisa memahami sesuatu dengan independent, yakni tidak berpihak pada satu madzhab, aliran bahkan agama sekalipun. Hal ini bisa dikatakan fenomena, sebab tidak jarang seorang ilmuan yang terkadang justru memasukkan daya pikir, mendoktrin maupun memasukkan pemahamannya pada kepentingan tertentu.
            Pribadi Profesor dibidang Hukum Islam ini mengingatkan saya pada Soekarno yang berfaham nasionalis, agamamis, liberalis, pluralis dan disaat waktu komunis. Padahal dalam Prof. Minhaji ada dua ilmu pengetahuan yang mengakar, yakni tradisi berfilsafat yang digelutinya semenjak menempuh pendidikan di sekolah menengah hingga jenjang doctoral dan tradisi bertasawwuf yang didapat dari latarbelakang keluarganya di Madura.
            Saat mengikuti satu pertemuan pada sesi kuliah bersama beliau, otomatis mahasiswa akan merasa seperti menjadi kader dari H.O.S Tjokroaminoto. Artinya penuh dengan esensial bermakna, atau bagi mahasiswa yang puitis, Prof. Minhaji tak kalah dengan sosok Jalaluddin Rumi yang tidak hanya bersyair, tapi juga menari. Akan tetapi ada pula sebagian mahasiswa yang merasa seperti sedang berkumpul bersama Nabi, saking magicnya sampai merasa diam adalah emas.
            Sosok sepertinya sulit lahir kembali, kecuali ada generasi yang gemar membaca dan menuliskan apa yang telah ditelaah menjadi sebuah tradisi akademik serta bisa diwariskan pada anak cucu.
            Sungguh pada era ini sudah sangat jarang pribadi dan person yang bisa melanjutkan perjuangan yang dirintis olehnya, karena zaman sudah buta, tidak bisa melihat antara bobot dan nilai ada pada dimensi intrinsic.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

huh,