Lepaskan Kacamatamu, kawan...!
Jadilah
seperti angin yang selalu menyapa dan menyejukkan
tanpa
peduli bisa dilihat atau tidak (Abu
Haidlar Fatih)
Beberapa
hari ini saya selalu mengikuti tulisan dan orasi ilmiah dari Prof. Akh. Minhaji,
P.hd, mutiara kata dan sentilannya seakan-akan membuat saya tidak lagi menjadi
seperti petani yang terkadang bosan dengan bayangan mencangkul tanah setiap
hari, atau tidak pula menjadi seperti nelayan yang hampir tidak merasa amis
saat memeluk ratusan kilogram ikan di laut tiap dinihari, bahkan saya merasa
tidak lagi menjadi kuli bangunan yang rela memanggang diri di siang hari.
Kalamnya memiliki power, sehingga saya serasa menjadi seorang penyelam yang bisa
menyaksikan keindahan surga samudera dengan ribuan jenis batu karang, ikan-ikan
yang elok dan siluet yang tak pernah ada di daratan.
Guru
besar yang merupakan murid dari ilmuan barat Prof. Wael B Hallaq ini membuat kita bisa memandang dunia tanpa
kacamata apapun, sehingga kita bisa memahami sesuatu dengan independent, yakni tidak berpihak pada
satu madzhab, aliran bahkan agama
sekalipun. Hal ini bisa dikatakan fenomena, sebab tidak jarang seorang ilmuan
yang terkadang justru memasukkan daya pikir, mendoktrin maupun memasukkan
pemahamannya pada kepentingan tertentu.
Pribadi
Profesor dibidang Hukum Islam ini mengingatkan saya pada Soekarno yang berfaham
nasionalis, agamamis, liberalis, pluralis dan disaat waktu komunis. Padahal
dalam Prof. Minhaji ada dua ilmu pengetahuan yang mengakar, yakni tradisi
berfilsafat yang digelutinya semenjak menempuh pendidikan di sekolah menengah
hingga jenjang doctoral dan tradisi bertasawwuf yang didapat dari latarbelakang
keluarganya di Madura.
Saat
mengikuti satu pertemuan pada sesi kuliah bersama beliau, otomatis mahasiswa
akan merasa seperti menjadi kader dari H.O.S Tjokroaminoto. Artinya penuh
dengan esensial bermakna, atau bagi mahasiswa yang puitis, Prof. Minhaji tak
kalah dengan sosok Jalaluddin Rumi yang tidak hanya bersyair, tapi juga menari.
Akan tetapi ada pula sebagian mahasiswa yang merasa seperti sedang berkumpul
bersama Nabi, saking magicnya sampai
merasa diam adalah emas.
Sosok
sepertinya sulit lahir kembali, kecuali ada generasi yang gemar membaca dan
menuliskan apa yang telah ditelaah menjadi sebuah tradisi akademik serta bisa
diwariskan pada anak cucu.
Sungguh
pada era ini sudah sangat jarang pribadi dan person yang bisa melanjutkan perjuangan yang dirintis olehnya,
karena zaman sudah buta, tidak bisa melihat antara bobot dan nilai ada pada
dimensi intrinsic.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
huh,