Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Kamis, 28 November 2013



Dilema Antara Khilafah Dan Monarki

Pendahuluan
            Dalam setiap generasi pasti ada pemimpin yang menjadi kiblat dan patokan kelompoknya, pada masa Jahiliyah misalnya, Suku Qurays merupakan pemimpin bangsa Arab. Adapun dalam Islam, hal ini sudah ada dan lestari sejak nabi Adam, tepatnya ketika Allah berfirman ; Inni ja`ilun fil ardhi khalifah, aku akan menciptakan pemimpin dimuka bumi ini.
            Pemimpin dalam konsep Islam bukanlah raja diraja yang menguasai seluruh element kehidupan, akan tetapi pemimpin adalah pelayan dari ummatnya, seperti qaul, sayyidul qaumi, khadimuhum.
            Adalah pasca kewafatan Rasulullah SAW, mercusuar khalifah sangat di junjung tinggi, Abu Bakar As-shiddiq merupakan khalifah pertama, beliau di pilih rakyat karena ittiba` pada perintah Nabi saat Abu Bakar dipercaya menjadi badal saat memimpin Shalat.
            Sepeninggal Abu Bakar, terpilihlah Umar al-farouq, Utsman Dzunnurayn dan Ali bin Abu Thalib menjadi khalifah, dan hal ini dilakukan secara bermusyawarah melalui tim yang memang dibentuk oleh majelis sahabat senior.
            Akan tetapi setelah periode kepemimpinan empat khulafa`urrasyidin ini, timbulah sistem kerajaan atau monarki (baca pula ; dinasti), hal ini dipelopori oleh Mu`awiyah bin Abi Sufyan melalui dinasti Umayyah dan berlanjut ke dinasti Abbasiyah dan kerajaan-kerajaan kecil setelahnya.
Peralihan Dari Khilafah Menjadi Monarki
            Setidaknya ada lima alasan mengapa Khilafah menjadi alternatif yang baik bagi proses pemerintahan. Pertama, kedaulatan dan kekuasaan bukanlah mutlak milik pribadi, namun lebih pada tanggung jawab yang harus dipenuhi sebagai wakil dari rakyat. Kedua, kepemimpinan diterapkan tidak hanya pada satu daerah saja, namun pada semua wilayah yang beragama atau berbai`at pada pemimpin yang di sepakati. Ketiga, tidak memberi kesempatan adanya diktatorism dalam sebuah orde. Keempat, ada freedom opinion atau sistem demokrasi yang bisa melahirkan toleransi sejati, dan terakhir yang kelima, senantiasa harmonisasi antara kehidupan individual kolektif dan kemajemukan.
            Akan tetapi, seiring berputarnya roda kehidupan, banyak para pemimpin yang menginginkan dirinya berkuasa seumur hidup dan bahkan parahnya lagi membuat pemerintahan secara genetik, artinya turun temurun tanpa melihat kualitas dan kuantitas yang ada pada diri dan penggantinya.
            Peristiwa pengangkatan Yazin bin Mu`awiyah menjadi amirul mu’minin merupakan awal mula dari monopoli pemerintahan. Padahal hal ini tidak pernah dicontohkan oleh generasi sebelumnya, kecuali pada sistem pemerintahan kekaisaran Romawi, Persia, Byzantiunm dan mamlakah Habasyah.
            Maka faktor terdepan yang memungkinkan beralihnya sistem Khilafah pada Monarki jelas terletak pada politik, utamanya tahta dan harta. Dan hal ini sesuai dengan ramalan Nabi ; Masa Khilafah setelahku hanya berlangsung 30 tahun, selepasnya akan lahir masa kerajaan.
Dampak Perubahan Dari Khilafah Menjadi Monarki
            Beberapa sejarawan menyebutkan beberapa pengaruh lahirnya sistem monarki dalam kepemerintahan dan dampak perubahan yang terjadi, diantaranya adalah ;
a.       Gaya Hidup Para Penghuni Istana
b.      Perubahan Pengelolaan Baitul Maal
c.       Hilangnya Kebebasan Berargumentasi
d.      Munculnya Kefanatikan Golongan (Klanisme)
            Selain itu, ‘kaum muslimin seperti anak ayam yang kehilangan induknya’, sebab Khilafah yang berkarakter pemimpin adalah pimpinan di bidang agama dan pimpinan politik tidak lagi di temukan.  
            Para raja hanyalah mereka yang menikmati harta, jabatan dan wanita serta hanya pedulii pada eklektabilitas perluasan wilayah serta mengantisipasi serangan musuh. Para raja tidak lagi menjadi pelindung dan pelayan masyarakat seperti pada masa khulafa`urrasyidin.
            Dalam sisi lain, ada beberapa nilai positif dari sistem monarki, seperti pemerintahan yang dibangun oleh Umar bin Abdul Aziz atau Harun Arrasyid. Akan tetapi minusnya lebih banyak, sebab tidak jarang penerusnya malah merusak nilai – nilai dan khazanah yang telah dibangun sebelumnya.

Penutup
            Sebagai penutup, layak rasanya jika penulis menceritakan dialog antara sahabat Ali bin Abi Thalib di akhir hayatnya dengan seorang pembesar yang mencoba menghina finishing kepemimpinan Ali yang bisa dikatakan tidak sebaik generasi sebelumnya.
            Saat tu si pembesar bertanya :  Ya Abal Hasan, mengapa keadaan masyarakat saat anda pimpin tidak lebih baik dari masa sebelumnya? Bukankah anda adalah seorang negarawan dan ilmuan sejati?
            Ali dengan santai menjawab : Karena dulu umatnya sebaik aku, sedangkan saat aku memimpin, ummatnya seburuk kamu.
            Bisa ditarik kesimpulan, bahwa kepribadian dan karakter akan mengubah segalanya, bahkan bisa lupa daratan. Wallahu a`lam.

Daftar Bacaan
Abul A`la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan  (Bandung : Mizan, 1993)
Ibnu Atsir, Al-Kaamilu Fit Tariekh  (Kairo : Muniriyah, 1356 H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

huh,