Dilema Antara Khilafah Dan Monarki
Pendahuluan
Dalam setiap
generasi pasti ada pemimpin yang menjadi kiblat dan patokan kelompoknya, pada
masa Jahiliyah misalnya, Suku Qurays merupakan pemimpin bangsa Arab. Adapun
dalam Islam, hal ini sudah ada dan lestari sejak nabi Adam, tepatnya ketika
Allah berfirman ; Inni ja`ilun fil ardhi khalifah, aku akan menciptakan
pemimpin dimuka bumi ini.
Pemimpin dalam
konsep Islam bukanlah raja diraja yang menguasai seluruh element kehidupan,
akan tetapi pemimpin adalah pelayan dari ummatnya, seperti qaul, sayyidul
qaumi, khadimuhum.
Adalah pasca
kewafatan Rasulullah SAW, mercusuar khalifah sangat di junjung tinggi, Abu
Bakar As-shiddiq merupakan khalifah pertama, beliau di pilih rakyat karena ittiba`
pada perintah Nabi saat Abu Bakar dipercaya menjadi badal saat
memimpin Shalat.
Sepeninggal Abu
Bakar, terpilihlah Umar al-farouq, Utsman Dzunnurayn dan Ali bin Abu Thalib
menjadi khalifah, dan hal ini dilakukan secara bermusyawarah melalui tim yang
memang dibentuk oleh majelis sahabat senior.
Akan tetapi
setelah periode kepemimpinan empat khulafa`urrasyidin ini, timbulah sistem
kerajaan atau monarki (baca pula ; dinasti), hal ini dipelopori oleh Mu`awiyah
bin Abi Sufyan melalui dinasti Umayyah dan berlanjut ke dinasti Abbasiyah dan
kerajaan-kerajaan kecil setelahnya.
Peralihan Dari Khilafah Menjadi Monarki
Setidaknya ada
lima alasan mengapa Khilafah menjadi alternatif yang baik bagi proses
pemerintahan. Pertama, kedaulatan dan kekuasaan bukanlah mutlak milik
pribadi, namun lebih pada tanggung jawab yang harus dipenuhi sebagai wakil dari
rakyat. Kedua, kepemimpinan diterapkan tidak hanya pada satu daerah
saja, namun pada semua wilayah yang beragama atau berbai`at pada pemimpin yang
di sepakati. Ketiga, tidak memberi kesempatan adanya diktatorism dalam
sebuah orde. Keempat, ada freedom opinion atau sistem demokrasi
yang bisa melahirkan toleransi sejati, dan terakhir yang kelima, senantiasa
harmonisasi antara kehidupan individual kolektif dan kemajemukan.
Akan tetapi,
seiring berputarnya roda kehidupan, banyak para pemimpin yang menginginkan
dirinya berkuasa seumur hidup dan bahkan parahnya lagi membuat pemerintahan
secara genetik, artinya turun temurun tanpa melihat kualitas dan kuantitas yang
ada pada diri dan penggantinya.
Peristiwa
pengangkatan Yazin bin Mu`awiyah menjadi amirul mu’minin merupakan awal
mula dari monopoli pemerintahan. Padahal hal ini tidak pernah dicontohkan oleh
generasi sebelumnya, kecuali pada sistem pemerintahan kekaisaran Romawi,
Persia, Byzantiunm dan mamlakah Habasyah.
Maka faktor
terdepan yang memungkinkan beralihnya sistem Khilafah pada Monarki jelas
terletak pada politik, utamanya tahta dan harta. Dan hal ini sesuai dengan
ramalan Nabi ; Masa Khilafah setelahku hanya berlangsung 30 tahun,
selepasnya akan lahir masa kerajaan.
Dampak Perubahan Dari Khilafah Menjadi Monarki
Beberapa sejarawan
menyebutkan beberapa pengaruh lahirnya sistem monarki dalam kepemerintahan dan
dampak perubahan yang terjadi, diantaranya adalah ;
a.
Gaya
Hidup Para Penghuni Istana
b.
Perubahan
Pengelolaan Baitul Maal
c.
Hilangnya
Kebebasan Berargumentasi
d.
Munculnya
Kefanatikan Golongan (Klanisme)
Selain itu, ‘kaum muslimin seperti
anak ayam yang kehilangan induknya’, sebab Khilafah yang berkarakter pemimpin
adalah pimpinan di bidang agama dan pimpinan politik tidak lagi di temukan.
Para raja hanyalah mereka yang
menikmati harta, jabatan dan wanita serta hanya pedulii pada eklektabilitas
perluasan wilayah serta mengantisipasi serangan musuh. Para raja tidak lagi
menjadi pelindung dan pelayan masyarakat seperti pada masa khulafa`urrasyidin.
Dalam sisi lain, ada beberapa nilai
positif dari sistem monarki, seperti pemerintahan yang dibangun oleh Umar bin
Abdul Aziz atau Harun Arrasyid. Akan tetapi minusnya lebih banyak, sebab tidak
jarang penerusnya malah merusak nilai – nilai dan khazanah yang telah dibangun
sebelumnya.
Penutup
Sebagai
penutup, layak rasanya jika penulis menceritakan dialog antara sahabat Ali bin
Abi Thalib di akhir hayatnya dengan seorang pembesar yang mencoba menghina finishing
kepemimpinan Ali yang bisa dikatakan tidak sebaik generasi sebelumnya.
Saat tu si pembesar bertanya : Ya Abal Hasan, mengapa keadaan
masyarakat saat anda pimpin tidak lebih baik dari masa sebelumnya? Bukankah
anda adalah seorang negarawan dan ilmuan sejati?
Ali dengan santai menjawab : Karena
dulu umatnya sebaik aku, sedangkan saat aku memimpin, ummatnya seburuk kamu.
Bisa ditarik kesimpulan, bahwa
kepribadian dan karakter akan mengubah segalanya, bahkan bisa lupa daratan. Wallahu
a`lam.
Daftar
Bacaan
Abul A`la
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung
: Mizan, 1993)
Ibnu Atsir, Al-Kaamilu
Fit Tariekh (Kairo : Muniriyah, 1356
H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
huh,