Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Kamis, 28 November 2013



Epistomologi Konjektur dan Falsifikasisme Karl  Raimund Popper
Serta Relevansinya Terhadap Pemikiran Islam


Pendahuluan
            Epistomologi yang berarti pengetahuan sebagai cabang filsafat yang ruang lingkupnya adalah cara memperoleh pengetahuan selalu asyik untuk dibicarakan, bahkan tidak akan pernah ada ujungnya, pun tak akan pernah menemukan kata the end.[1]
            Adalah Karl Popper, pelopor teori Falsifikasisme yang belakangan meramaikan dunia filsafat dengan kontroversinya menentang teori rasionalisme dan empirisme, namun ternyata dia juga tidak mau kehilangan realita yang ada bahwa bagaimanapun teori rasionalisme dan empirisme memiliki sumbangsih pula dalam roda filsafat.
            Moderat merupakan istiliah yang sangat cocok bagi pemikiran Popper, dan hal ini kemudian memberikan pemahaman pada kita bahwa sebenarnya pemikiran Islam justru telah lebih dulu ‘menari dengan romantis’ melalui istilah al-muhaafadhatu `alaa qadim al-shalih, wal akhdu bi al-jadiid al-ashlah ; melestarikan tradisi lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai modern yang relevan.
            Hal ini menjadi menarik bagi kita untuk digali lebih dalam mengenai sinkronisme antara pemikiran Popper dan pemikiran Islam.

Biografi Karl Popper
            Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, Wina, Austria, pada 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat mencintai musik.
            Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual sudah terbentuk, sebab dia telah konsisten membaca koleksi buku ayahnya, puncaknya pada saat berusia 20 tahun dia secara resmi di terima menjadi mahasiswa di Universitas Wina.
            Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Terlebih negaranya yang runtuh akibat Perang Dunia I. Segala aspek kehidupan memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi. Peristiwa ini cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya.[2]
            Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk mencari kehidupan yang lebih berwarna. Popper pergi ke Selandia Baru dan mengajar filsafat di Canterbury University College.
            Kemudian Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics (LSE).
            Sejak itu pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai akhirnya meninggal pada tahun 1994.[3]
           
Kemunculan dan Teori Falsifikasi
            Pada hakikatnya, tiap ada teori yang muncul, pastilah ada teori lain yang akan lahir, bahkan terkadang menumbangkan teori yang lama, atau terkadang malah menguatkan teori yang sebelumnya.
            Hal ini telah terjadi sejak zaman Yunani kuno, dimana diskusi mulai marak dan para ilmuan mulai mencari hakikat kebenaran, tak heran bila kemudian Plato memberikan tanda tanya besar pada ilmuan tentang bagaimana dan seperti apa kebenaran yang nyata. [4]
            Pada periode modern, Descartes mencetuskan teori rasionalisme. Pandangan ini kemudian dikenal sebagai pandangan Cartesian, rasionalisme mendasarkan diri pada prosedur berpikir dengan akal atau rasio. Descartes percaya bahwa pengetahuan rasional bersifat mutlak dan berlaku universal.
            Sebagai reaksi tidak setuju terhadap pandangan Cartesian, munculah teori tandingan yang bernama empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke. Berbeda dengan rasionalisme yang mendewakan akal, empirisme lebih berorientasi pada sesuatu yang inderawi dan mesti bisa dicerna dahulu.
            Kemudian berawal dari dua teori yang saling bertolak belakang ini, Popper menawarkan jalan tengah dengan menawarkan teori falsifikasi. Akan tetapi, perlu diketahui bersama bahwa sebenarnya sebelum Popper memprolamirkan falsifikasi, sudah ada ilmuan lain yang menawarkan jalan tengah yang sama, yakni Immanuel Kant. Kant yang juga berusaha mengatasi rasionalisme dan empirisme memiliki beberapa perbedaan pendapat dengan Popper, khususnya dibidang apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum pengalaman.
            Maka jalan alternatif dan kontroversi yang dilakukan Popper pertama, dengan menyelamatkan rasionalsme dengan catatan rasionalisme meski memiliki landasan yang kritis, artinya penggunaan akal sebagai azas utama mesti prosedural dan tidak asal-asalan. Kedua, mempertahankan empirisme dengan persyaratan penggunaan inderawi sebagai landasan berpikir harus menggunakan standart yang absah.
            Jadi teori falsifikasi sebagai tawaran mutlak memiliki visi ; saat ada bukti yang lebih kuat, maka teori pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Akan tetapi bila ternyata bukti yang baru lebih lemah, otomatis pengetahuan lamalah yang kuat. Dan hal ini wajib dilalui dengan uji kelayakan yang meyakinkan.[5]
            Dalam referensi lain, akar permasalahan Popper memprakarsai falsifikasisme ialah adanya perselisihan antara David Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804).
            Hume berpendapat bahwa pengetahuan itu ibarat papan tulis, artinya kita mesti memiliki eksperimen untuk menuliskan sesuatu di papan tulis itu, sedangkan Kant berasumsi bahwa kita memiliki kerangka bawaan yang bisa dihasilkan dari genetik atau sensasi yang telah ada. [6]
            Dari sini kita bisa menarik benang merah bahwa sebenarnya teori falsifikasi menitik-beratkan kita untuk senantiasa moderat dan demokratis dalam mengambil sebuah langkah dan keputusan.
            Sebagai contoh sikap moderat dan demokratis dari Popper adalah ketika semua masyarakat Eropa menganggap bahwa semua Angsa berwarna putih, padahal ternyata ada sebagian kecil Angsa yang berwarna hitam. Maka kesimpulannya adalah observasi akan mematahkan pendapat yang mayoritas. Cara ini merupakan cermin dari pertikaian kecil antara rasionalisme yang mengandalkan akal dan ternyata mampu digulingkan melalui bukti empirisme dengan penelitian walaupun tentunya akan banyakn orang yang mencibir atau menertawakan.
            Metode yang dilakukan oleh Popper  sesuai dengan kriteria yang disepakati para ilmuan dengan mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, langkah dan tekhnisnya. Hal ini sebagaia prosedur untuk mencari pengetahuan yang baru serta meninjau kembali pengetahuan yang pernah ada. [7]
            Lebih rinci dan mudah difahami, Sastrapratejda menyebutkan bahwa prinsip falsifikasisme Popper[8] adalah :

1.      Menolak bahwa suatu teori dirumuskan dan dibuktikan melalui paham verifikasi (pembenaran) sebagaimana yang dianut oleh kaum positivistik. Alasannya karena tidak ada kebenaran akhir dalam teori ilmiah.
2.      Menekankan langkah observasi (pengamatan), karena obsevasi merupakan hal sangat urgent dalam meneliti gejala yang sedang diseliliki. Dan hal ini jarang sekali dilakukan oleh ilmuan, sebab kebanyakan dari mereka ‘ikut arus’ dengan pembenaran yang dilakukan sekelompok orang lain.
3.      Menawarkan jalan falsifikasisme melalui pernyataan yang dapat dibuktikan dan tidak condong pada pembenaaran semata.

3 Dunia ala Popper
            Berbicara tentang Popper, maka kita tidak boleh lepas dari analisa pria yang dilukiskan sebagai decidedly bookish, sangat akrab dengan buku.
            Popper mendengungkan istilah 3 dunia pada pidato yang disampaikan di University of MIchigan, pada 7 April 1978. Maksud dari 3 dunia yang terkenal itu adalah dunia 1 yang berisi simbol fisik, contoh kayu, buku, batu dan lain-lain. Sedangkan dunia 2 merupakan dunia proses atau pengalaman, jadi semua proses berpikir yang bersifat konkret masuk ke dunia 2. Adapun dunia 3 digambarkan sebagai dunia yang berisi hasil pemikiran manusia. seperti contohnya: teori, karya tulis, lagu, atau apapun juga yang lahir dari pemikiran.
            Tashilan sebagai sample  yaitu adanya sebuah buku, secara fisik buku masuk pada katagori dunia 1, tetapi isi dari buku itu merupakan dunia 3. Nah, seandainya kita membakar buku tersebut, otomatis dunia 1 akan hangus dan tidak ada lagi wujudnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ide atau maksud dari buku tersebut masih dalam otak pembaca (dunia 3) dan dapat berpindah ke dunia 2.
            3 dunia inilah yang pernah mengguncang dunia dan membuka mata para ilmuan tentang analisa filsafat yang kemudian sedikit demi sedikit diadopsi oleh para psikolog. [9]

Relevansi Falsifikasisme Dengan Pemikiran Islam
            Kalau mau berbicara jujur, sebenarnya teori yang diprakarsai oleh Popper sejatinya sudah ada sejak periode keemasan Islam. Dimana banyak intelektual muslim yang memiliki karakter sama dengan Popper, yakni moderat dan demokratis serta lebih menjunjung tinggi sikap netral dan independensi tinggi atau tidak berpihak pada satu kelompok maupun kelompok lain.
            Islam yang memiliki nilai murunah (fleksibel) dan sa`ah (keleluasaan) tentunya sangat memiliki relevansi kuat dengan teori falsifikasisme yang moderat.
            Berikut beberapa nash yang berhasil penulis kumpulkan dari berbagai sumber memiliki relevansi dengan pemikiran Popper :

1.      Al-Quran yang merupakan pedoman ummat islam telah menyebutkan falsifikasisme dalam surat al-Baqarah ayat 143 yang berkisah tentang tantangan untuk menjadi netral dan indepentent dan seruan untuk menjadi saksi atas kebenaran Muhammad SAW.

y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx©
2.      Seorang pemikir muslim yang dinilai telah membidani teori falsifikasi adalah Ibn Hazm, Ibn Hazm dianggap menakjubkan, karena memunculkan dan mengulas masalah yang tujuh abad setengah lamanya kemudian diulas ulang oleh  Kant dan Popper mengenai hal independentsi.
       Mari kita simak apa yang menjadi landasan utama Ibn Hazm dalam mencari kebenaran, hal ini persis seperti metode Popper
a.       Persepsi syahadaat al-hawaas yakni melalui observasi
b.      Persepsi Badiihat al-`aql atau bisa difahami sebagai pemahaman melalui akal rasional
c.       Persepsi Burhaan yang bisa kita maknai sebagai bukti dari kebenaran antara observasi dan akal.[10]
3.      Berikutnya,  tidak salah bila kita menukil usaha dari Abu Hanifah yang berusaha keras untuk mengharmonisasikan pendapat kaum Qadariyyah dan Jabariyyah dengan pendekatan Taufiq.
       Abu Hanifah berpendapat bahwa barang kali kita mengira bahwa keputusan Allah bersifat final (qadar), padahal ini tidak mungkin. Sebab Allah telah memberikan ancaman kepada pendosa dan memberikan janji pada orang yang baik, dan hal ini berarti kita memiliki usaha (jabar) untuk mengubah nasib sedemikian lebih baik.[11]
4.      Kemudian yang tak kalah menarik adalah corak dan pemikiran dari Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Anshari al-Hanafi, atau yang lebih populer dengan al-Maturidi.
       Seorang intelektual muslim yang terkenal mahir dalam bidang tafsir, kalam dan ushul ini ternyata memiliki metode dan pandangan yang sama dengan Popper, dia berpendapat bahwa cara mendapatkan kebenaran dan ilmu pengetahuan mempunyai setidaknya tiga metodologi :
a.       Al-A`yaan  yaitu dengan organ-organ indera
b.      Al-Akhbaar  yakni melalui keterangan (observasi)
c.       Al-Nazhar  yang bisa kita fahami sebagai pandangan final yang dihasilkan dari organ indera dan observasi.[12]
5.      Lalu ada pula tokoh intelektual muslim yang namanya sangat ma`ruf dan masyhur telah membahas teori Popper ini. Beliau adalah Yusuf Qardhawi. Dalam pandangannya terhadap kaum moderat, beliau menulis teori yang sangat terkenal, yaitu teori tawaazun, prinsipnya ialah bersikap ditengah-tengah dan seimbang antara aspek yang berlawanan dan kemudian mengambil intisari yang terbaik dari keduanya, bahkan mengkombinasikan keduanya menjadi hal yang lebih baik.[13]
       Yusuf Qardhawi memberikan contoh tawaazun dalam dua aspek yang berseberangan, individual dan kolektiv misalnya, dari kedua perbedaan ini kita bisa membuka ruang masing-masing aspek dengan terbuka, luas dan jelas tentang nilai plus dan minusnya, kemudian memberikan hak yang tidak lebih dan tidak kurang, lalu dipadukan menjadi satu kesatuan yang lebih ahsan.
6.      Hal senada disampaikan Muhammad Abduh yang menarik kiranya bila kita simak dan renungkan, sebab hal ini  secara tidak langsung bersinggungan dengan teori Popper, yaitu “Nata’âwan ‘alâ mâ nattafiq, wa natasâmah fîmâ nakhtalif”. Mari kita bahu-membahu dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran dalam hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat.[14]
       Pendapat ini diutarakan Muhammad Abduh saat melihat fenomena Islam trans nasional yang mulai membumi dan mengakar, dimulai dari lahirnya Ikhwan al-Muslimin yang berhulu di Mesir, Syiah yang dimotori Iran, dan arus Wahabi yang disokong Arab Saudi. Dalam perjalanannya, gerakan Islam trans nasional acap ‘di persimpangan jalan’ antara bentuk reformis dan bentuk revolusioner; antara tujuan mereislamisasi umat, dan tujuan merengkuh kekuasaan negara.
       Dari sinilah perkataan bijak Muhammad Abduh bisa kita fahami sebagai metodologi melihat, mempertimbangkan dan mengambil kesimpulan yang paling benar.
7.      Tidak hanya itu saja, beberapa ahwal yang mencerminkan karakter Popper sudah ada ketika nabi bersabda bahwa paling baiknya manusia adalah wasathal qaum ( golongan yang netral). [15]

Kesimpulan
            Untuk memberikan ilustrasi tentang kesimpulan falsifikasi ini, cukuplah kita merenungkan secara romantis seorang penyair Arab pernah melantunkan syair yang intinya ialah mengharap posisinya berada di tengah-tengah rombongan saat bepergian, sebab dia sudah tua dan memiliki kuda yang liar[16], luar biasa bukan ?

إذا رَحَلتُ فاجعَلُوني وَسَطا         ** إني كبيرٌ لا أُطيقُ العِنَادًا
            Nah, Popper yang menganggap dirinya sudah ‘banyak makangaram’ dengan falsifikasinya, mengajak kita tidak terjebak pada satu lubang dikotomi, tapi dia berusaha ‘mengawinkan’ dua perbedaan (rasionalis dan empiris) untuk melahirkan sebuah ‘bayi’ (falsifikasi) sehingga munculah mujaddid dalam khazanah perkembangan pemikiran yang bisa dicerna semua golongan.



Daftar Bacaan
               
            Abdullah Hakam Shah, Islam Transnasional ; Dari Ancaman Menjadi Alternatif  (Surabaya:Jurnal FKMSB Vol III, 2009) Hal. 3
            Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper  (Jakarta: Gramedia Press, 1991) Hal. 18
            Isham al-Basyir, Khusuushiyyat al-Hadhaarah al-Islamiyyah al-Wasathiyyah. (Kuwait : Idaarah Tsaqaafiyyah, TT)Hal.  16 - 17
            M.M. Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam  (Bandung : Nuansa Cendikia, 2004)  Hal. 166
            Rizal Mustansir dan Misnal Munir,  Filsafat Ilmu  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008)  Hal. 16
            Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997) Hal. 16. Dalam artikel ;Karl Popper dan Masa Depan Masyakat. Amin Mudzakkir 16 Januari 2012
            Sastrapratedja, Manusia Multi Dimensolan : Sebuah Renungan Filsafat  (Jakarta : Gramedia Press, 1982) Hal. 87-88
            The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu  (Yogyakarya : Liberty, 1996)  Hal. 110
            William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences (Albany: State University of New York Press, 2006)  Hal. 1
            William Berkson dan John Wettersen, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper (Yogyakarta : Qalam, 1994) Hal. 4



                [1] Rizal Mustansir dan Misnal Munir,  Filsafat Ilmu  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008)  Hal. 16
                [2] William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences (Albany: State University of New York Press, 2006)  Hal. 1
                [3] Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997) Hal. 16. Dalam artikel ;Karl Popper dan Masa Depan Masyakat. Amin Mudzakkir 16 Januari 2012
[4] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper  (Jakarta: Gramedia Press, 1991) Hal. 18
                [5] Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997) Hal. 16. Dalam artikel ;Karl Popper dan Masa Depan Masyakat. Amin Mudzakkir 16 Januari 2012
                [6] William Berkson dan John Wettersen, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper (Yogyakarta : Qalam, 1994) Hal. 4
                [7] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu  (Yogyakarya : Liberty, 1996)  Hal. 110
                [8] Sastrapratedja, Manusia Multi Dimensolan : Sebuah Renungan Filsafat  (Jakarta : Gramedia Press, 1982) Hal. 87-88
                [9] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper..........  Hal. 95
                [10] M.M. Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam  (Bandung : Nuansa Cendikia, 2004)  Hal. 166
                [11] M.M. Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam........ Hal.  147
                [12] M.M. Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam........ Hal.  102
                [13] Isham al-Basyir, Khusuushiyyat al-Hadhaarah al-Islamiyyah al-Wasathiyyah. (Kuwait : Idaarah Tsaqaafiyyah, TT)Hal.  16 - 17
                [14] Abdullah Hakam Shah, Islam Transnasional ; Dari Ancaman Menjadi Alternatif  (Surabaya:Jurnal FKMSB Vol III, 2009) Hal. 3
                [15] Isham al-Basyir, Khusuushiyyat al-Hadhaarah al-Islamiyyah al-Wasathiyyah .... Hal. 12
                [16] Isham al-Basyir, Khusuushiyyat al-Hadhaarah al-Islamiyyah al-Wasathiyyah .... Hal. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

huh,