Epistomologi
Konjektur dan Falsifikasisme Karl Raimund Popper
Serta
Relevansinya Terhadap Pemikiran Islam
Pendahuluan
Epistomologi yang berarti
pengetahuan sebagai cabang filsafat yang ruang lingkupnya adalah cara
memperoleh pengetahuan selalu asyik untuk dibicarakan, bahkan tidak akan pernah
ada ujungnya, pun tak akan pernah menemukan kata the end.[1]
Adalah Karl Popper,
pelopor teori Falsifikasisme yang belakangan meramaikan dunia filsafat dengan
kontroversinya menentang teori rasionalisme dan empirisme, namun ternyata dia
juga tidak mau kehilangan realita yang ada bahwa bagaimanapun teori
rasionalisme dan empirisme memiliki sumbangsih pula dalam roda filsafat.
Moderat merupakan istiliah
yang sangat cocok bagi pemikiran Popper, dan hal ini kemudian memberikan
pemahaman pada kita bahwa sebenarnya pemikiran Islam justru telah lebih dulu
‘menari dengan romantis’ melalui istilah al-muhaafadhatu `alaa qadim
al-shalih, wal akhdu bi al-jadiid al-ashlah ; melestarikan tradisi lama
yang baik dan mengadopsi nilai-nilai modern yang relevan.
Hal ini menjadi menarik
bagi kita untuk digali lebih dalam mengenai sinkronisme antara pemikiran Popper
dan pemikiran Islam.
Biografi Karl Popper
Karl Raimund Popper lahir di
Himmelhof, Wina, Austria, pada 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara
yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya
adalah seorang yang sangat mencintai musik.
Sejak kecil ketertarikan popper
terhadap dunia intelektual sudah terbentuk, sebab dia telah konsisten membaca
koleksi buku ayahnya, puncaknya pada saat berusia 20 tahun dia secara resmi di
terima menjadi mahasiswa di Universitas Wina.
Ketika Popper studi di universitas,
Eropa sedang goncang. Terlebih negaranya yang runtuh akibat Perang Dunia I. Segala
aspek kehidupan memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi.
Peristiwa ini cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang
kebebasan menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya.[2]
Pada tahun 1937 Popper dan istrinya
pergi meninggalkan Austria untuk mencari kehidupan yang lebih berwarna. Popper
pergi ke Selandia Baru dan mengajar filsafat di Canterbury University College.
Kemudian Setelah Perang Dumia II
berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics
(LSE).
Sejak itu pengaruh Popper meluas
cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan
memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai
akhirnya meninggal pada tahun 1994.[3]
Kemunculan dan Teori Falsifikasi
Pada hakikatnya, tiap ada teori yang
muncul, pastilah ada teori lain yang akan lahir, bahkan terkadang menumbangkan
teori yang lama, atau terkadang malah menguatkan teori yang sebelumnya.
Hal ini telah terjadi sejak zaman
Yunani kuno, dimana diskusi mulai marak dan para ilmuan mulai mencari hakikat
kebenaran, tak heran bila kemudian Plato memberikan tanda tanya besar pada
ilmuan tentang bagaimana dan seperti apa kebenaran yang nyata. [4]
Pada periode modern, Descartes mencetuskan
teori rasionalisme. Pandangan ini kemudian dikenal sebagai pandangan Cartesian,
rasionalisme mendasarkan diri pada prosedur berpikir dengan akal atau rasio.
Descartes percaya bahwa pengetahuan rasional bersifat mutlak dan berlaku
universal.
Sebagai reaksi tidak setuju terhadap
pandangan Cartesian, munculah teori tandingan yang bernama empirisme. Tokoh
utamanya adalah John Locke. Berbeda dengan rasionalisme yang mendewakan akal,
empirisme lebih berorientasi pada sesuatu yang inderawi dan mesti bisa dicerna
dahulu.
Kemudian berawal dari dua teori yang
saling bertolak belakang ini, Popper menawarkan jalan tengah dengan menawarkan
teori falsifikasi. Akan tetapi, perlu diketahui bersama bahwa sebenarnya
sebelum Popper memprolamirkan falsifikasi, sudah ada ilmuan lain yang
menawarkan jalan tengah yang sama, yakni Immanuel Kant. Kant yang juga berusaha
mengatasi rasionalisme dan empirisme memiliki beberapa perbedaan pendapat
dengan Popper, khususnya dibidang apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum
pengalaman.
Maka jalan alternatif dan
kontroversi yang dilakukan Popper pertama, dengan menyelamatkan
rasionalsme dengan catatan rasionalisme meski memiliki landasan yang kritis,
artinya penggunaan akal sebagai azas utama mesti prosedural dan tidak
asal-asalan. Kedua, mempertahankan empirisme dengan persyaratan
penggunaan inderawi sebagai landasan berpikir harus menggunakan standart yang
absah.
Jadi teori falsifikasi sebagai
tawaran mutlak memiliki visi ; saat ada bukti yang lebih kuat, maka teori
pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Akan tetapi bila ternyata bukti yang
baru lebih lemah, otomatis pengetahuan lamalah yang kuat. Dan hal ini wajib
dilalui dengan uji kelayakan yang meyakinkan.[5]
Dalam referensi lain, akar
permasalahan Popper memprakarsai falsifikasisme ialah adanya perselisihan
antara David Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804).
Hume berpendapat bahwa pengetahuan
itu ibarat papan tulis, artinya kita mesti memiliki eksperimen untuk menuliskan
sesuatu di papan tulis itu, sedangkan Kant berasumsi bahwa kita memiliki
kerangka bawaan yang bisa dihasilkan dari genetik atau sensasi yang telah ada. [6]
Dari sini kita bisa menarik benang
merah bahwa sebenarnya teori falsifikasi menitik-beratkan kita untuk senantiasa
moderat dan demokratis dalam mengambil sebuah langkah dan keputusan.
Sebagai contoh sikap moderat dan
demokratis dari Popper adalah ketika semua masyarakat Eropa menganggap bahwa
semua Angsa berwarna putih, padahal ternyata ada sebagian kecil Angsa yang
berwarna hitam. Maka kesimpulannya adalah observasi akan mematahkan pendapat
yang mayoritas. Cara ini merupakan cermin dari pertikaian kecil antara
rasionalisme yang mengandalkan akal dan ternyata mampu digulingkan melalui
bukti empirisme dengan penelitian walaupun tentunya akan banyakn orang yang
mencibir atau menertawakan.
Metode yang dilakukan oleh Popper sesuai dengan kriteria yang disepakati para
ilmuan dengan mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, langkah dan
tekhnisnya. Hal ini sebagaia prosedur untuk mencari pengetahuan yang baru serta
meninjau kembali pengetahuan yang pernah ada. [7]
Lebih rinci dan mudah difahami,
Sastrapratejda menyebutkan bahwa prinsip falsifikasisme Popper[8] adalah :
1.
Menolak
bahwa suatu teori dirumuskan dan dibuktikan melalui paham verifikasi
(pembenaran) sebagaimana yang dianut oleh kaum positivistik. Alasannya karena
tidak ada kebenaran akhir dalam teori ilmiah.
2.
Menekankan
langkah observasi (pengamatan), karena obsevasi merupakan hal sangat urgent dalam
meneliti gejala yang sedang diseliliki. Dan hal ini jarang sekali dilakukan
oleh ilmuan, sebab kebanyakan dari mereka ‘ikut arus’ dengan pembenaran yang
dilakukan sekelompok orang lain.
3.
Menawarkan
jalan falsifikasisme melalui pernyataan yang dapat dibuktikan dan tidak condong
pada pembenaaran semata.
3 Dunia ala
Popper
Berbicara tentang Popper, maka kita
tidak boleh lepas dari analisa pria yang dilukiskan sebagai decidedly
bookish, sangat akrab dengan buku.
Popper mendengungkan istilah 3 dunia pada pidato yang disampaikan di University of MIchigan, pada 7 April
1978. Maksud dari 3 dunia yang terkenal itu
adalah dunia 1 yang berisi simbol fisik, contoh kayu, buku, batu dan lain-lain.
Sedangkan dunia 2 merupakan dunia proses atau pengalaman, jadi semua proses
berpikir yang bersifat konkret masuk ke dunia 2. Adapun dunia 3 digambarkan
sebagai dunia yang berisi hasil pemikiran manusia. seperti contohnya: teori,
karya tulis, lagu, atau apapun juga yang lahir dari pemikiran.
Tashilan sebagai sample
yaitu adanya sebuah buku, secara
fisik buku masuk pada katagori dunia 1, tetapi isi dari buku itu merupakan dunia
3. Nah, seandainya kita membakar buku tersebut, otomatis dunia 1 akan hangus
dan tidak ada lagi wujudnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ide atau maksud
dari buku tersebut masih dalam otak pembaca (dunia 3) dan dapat berpindah ke
dunia 2.
3 dunia inilah yang pernah
mengguncang dunia dan membuka mata para ilmuan tentang analisa filsafat yang
kemudian sedikit demi sedikit diadopsi oleh para psikolog. [9]
Relevansi Falsifikasisme
Dengan Pemikiran Islam
Kalau mau berbicara jujur,
sebenarnya teori yang diprakarsai oleh Popper sejatinya sudah ada sejak periode
keemasan Islam. Dimana banyak intelektual muslim yang memiliki karakter sama
dengan Popper, yakni moderat dan demokratis serta lebih menjunjung tinggi sikap
netral dan independensi tinggi atau tidak berpihak pada satu kelompok maupun
kelompok lain.
Islam yang memiliki
nilai murunah (fleksibel) dan sa`ah (keleluasaan) tentunya sangat
memiliki relevansi kuat dengan teori falsifikasisme yang moderat.
Berikut beberapa nash yang
berhasil penulis kumpulkan dari berbagai sumber memiliki relevansi dengan
pemikiran Popper :
1. Al-Quran yang merupakan pedoman ummat islam telah menyebutkan
falsifikasisme dalam surat al-Baqarah ayat 143 yang berkisah tentang tantangan
untuk menjadi netral dan indepentent dan seruan untuk menjadi saksi atas
kebenaran Muhammad SAW.
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx©
2.
Seorang
pemikir muslim yang dinilai telah membidani teori falsifikasi adalah Ibn Hazm,
Ibn Hazm dianggap menakjubkan, karena memunculkan dan mengulas masalah yang
tujuh abad setengah lamanya kemudian diulas ulang oleh Kant dan Popper mengenai hal independentsi.
Mari kita simak apa yang menjadi landasan
utama Ibn Hazm dalam mencari kebenaran, hal ini persis seperti metode Popper
a.
Persepsi
syahadaat al-hawaas yakni melalui observasi
b.
Persepsi
Badiihat al-`aql atau bisa difahami sebagai pemahaman melalui akal
rasional
c.
Persepsi
Burhaan yang bisa kita maknai sebagai bukti dari kebenaran antara
observasi dan akal.[10]
3.
Berikutnya, tidak salah bila kita menukil usaha dari Abu
Hanifah yang berusaha keras untuk mengharmonisasikan pendapat kaum Qadariyyah
dan Jabariyyah dengan pendekatan Taufiq.
Abu Hanifah berpendapat bahwa barang kali
kita mengira bahwa keputusan Allah bersifat final (qadar), padahal ini
tidak mungkin. Sebab Allah telah memberikan ancaman kepada pendosa dan
memberikan janji pada orang yang baik, dan hal ini berarti kita memiliki usaha
(jabar) untuk mengubah nasib sedemikian lebih baik.[11]
4.
Kemudian
yang tak kalah menarik adalah corak dan pemikiran dari Abu Manshur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Anshari al-Hanafi, atau yang lebih populer
dengan al-Maturidi.
Seorang intelektual muslim yang terkenal
mahir dalam bidang tafsir, kalam dan ushul ini ternyata memiliki metode dan
pandangan yang sama dengan Popper, dia berpendapat bahwa cara mendapatkan
kebenaran dan ilmu pengetahuan mempunyai setidaknya tiga metodologi :
a.
Al-A`yaan yaitu
dengan organ-organ indera
b.
Al-Akhbaar yakni
melalui keterangan (observasi)
c.
Al-Nazhar yang
bisa kita fahami sebagai pandangan final yang dihasilkan dari organ indera dan
observasi.[12]
5.
Lalu
ada pula tokoh intelektual muslim yang namanya sangat ma`ruf dan masyhur
telah membahas teori Popper ini. Beliau adalah Yusuf Qardhawi. Dalam
pandangannya terhadap kaum moderat, beliau menulis teori yang sangat terkenal,
yaitu teori tawaazun, prinsipnya ialah bersikap ditengah-tengah dan
seimbang antara aspek yang berlawanan dan kemudian mengambil intisari yang
terbaik dari keduanya, bahkan mengkombinasikan keduanya menjadi hal yang lebih
baik.[13]
Yusuf Qardhawi memberikan contoh tawaazun
dalam dua aspek yang berseberangan, individual dan kolektiv misalnya, dari
kedua perbedaan ini kita bisa membuka ruang masing-masing aspek dengan terbuka,
luas dan jelas tentang nilai plus dan minusnya, kemudian
memberikan hak yang tidak lebih dan tidak kurang, lalu dipadukan menjadi satu
kesatuan yang lebih ahsan.
6.
Hal
senada disampaikan Muhammad Abduh yang menarik kiranya bila kita simak dan renungkan,
sebab hal ini secara tidak langsung bersinggungan
dengan teori Popper, yaitu “Nata’âwan ‘alâ mâ nattafiq, wa natasâmah fîmâ
nakhtalif”. Mari kita bahu-membahu dalam hal-hal yang disepakati dan
bersikap toleran dalam hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat.[14]
Pendapat ini diutarakan Muhammad Abduh
saat melihat fenomena Islam trans nasional yang mulai membumi dan mengakar, dimulai
dari lahirnya Ikhwan al-Muslimin yang berhulu di Mesir, Syiah yang dimotori
Iran, dan arus Wahabi yang disokong Arab Saudi. Dalam perjalanannya, gerakan Islam trans
nasional acap ‘di persimpangan jalan’ antara bentuk reformis dan bentuk
revolusioner; antara tujuan mereislamisasi umat, dan tujuan merengkuh kekuasaan
negara.
Dari sinilah perkataan bijak Muhammad
Abduh bisa kita fahami sebagai metodologi melihat, mempertimbangkan dan
mengambil kesimpulan yang paling benar.
7.
Tidak
hanya itu saja, beberapa ahwal yang mencerminkan karakter Popper sudah
ada ketika nabi bersabda bahwa paling baiknya manusia adalah wasathal qaum (
golongan yang netral). [15]
Kesimpulan
Untuk memberikan ilustrasi tentang
kesimpulan falsifikasi ini, cukuplah kita merenungkan secara romantis seorang
penyair Arab pernah melantunkan syair yang intinya ialah mengharap posisinya
berada di tengah-tengah rombongan saat bepergian, sebab dia sudah tua dan
memiliki kuda yang liar[16], luar biasa bukan ?
إذا رَحَلتُ فاجعَلُوني وَسَطا **
إني كبيرٌ لا أُطيقُ العِنَادًا
Nah, Popper yang menganggap dirinya
sudah ‘banyak makangaram’ dengan falsifikasinya, mengajak kita tidak terjebak
pada satu lubang dikotomi, tapi dia berusaha ‘mengawinkan’ dua perbedaan
(rasionalis dan empiris) untuk melahirkan sebuah ‘bayi’ (falsifikasi) sehingga
munculah mujaddid dalam khazanah perkembangan pemikiran yang bisa
dicerna semua golongan.
Daftar Bacaan
Abdullah Hakam
Shah, Islam Transnasional ; Dari Ancaman Menjadi Alternatif (Surabaya:Jurnal FKMSB Vol III, 2009)
Hal. 3
Alfons Taryadi, Epistemologi
Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia Press, 1991) Hal. 18
Isham al-Basyir, Khusuushiyyat
al-Hadhaarah al-Islamiyyah al-Wasathiyyah. (Kuwait : Idaarah
Tsaqaafiyyah, TT)Hal. 16 - 17
M.M. Sharif, Aliran-Aliran
Filsafat Islam (Bandung : Nuansa
Cendikia, 2004) Hal. 166
Rizal Mustansir
dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008) Hal. 16
Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper,
translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997) Hal. 16. Dalam
artikel ;Karl Popper dan Masa Depan Masyakat. Amin Mudzakkir 16 Januari 2012
Sastrapratedja, Manusia
Multi Dimensolan : Sebuah Renungan Filsafat
(Jakarta : Gramedia Press, 1982) Hal. 87-88
The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu (Yogyakarya : Liberty,
1996) Hal. 110
William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences
(Albany: State University of New York Press, 2006) Hal. 1
William Berkson
dan John Wettersen, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper
(Yogyakarta : Qalam, 1994) Hal. 4
[1] Rizal
Mustansir dan Misnal Munir, Filsafat
Ilmu (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2008) Hal. 16
[4] Alfons
Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia Press, 1991) Hal. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
huh,