Beasiswa?kenapa tidak...

 Pusat Info Beasiswa

Senin, 07 Juni 2010

Hayy Ibn Yaqdzan

Salam sejahtera disampaikan pada pembaca, khususnya kawan-kawan BSA 08 yang sedang memasuki detik-detik UAS, kebetulan saya membaca dan mengkaji novel Innova, hehehe. jadi ini sepenggal inti kisah dari hayy ibn yaqdzan
Buku ini dibuka dengan penjelasan pengarangnya mengenai tujuan penulisan romannya. Ibn Tufayl mengatakan bahwa karyanya itu ditulis untuk menjabarkan falsafah Masyriqiyah Ibn Sina. Pada peringkat epistemologi dan metafisika, pencapaian pengetahuan dalam falsafah Masyriqiyah mirip dengan tasawuf atatau mistisisme illuminatif. Pengetahuan yang ingin dicapai ialah pengetahuan illuminatif atau kasyf, yaitu tersingkapnya penglihatan kalbu dari hijab yang menghalangi seseorang menyaksikan keberanan hakiki. Walaupun ada kemiripan, falsafah Masyriqiyah berbeda dari tasawuf. Dalam yang pertama, pengetahuan dapat dicapai melalui pemikiran spekulatif falsafah bukan melalui disiplin kerohanian seperti dalam tasawuf. Namun karena keadaan dan pengalaman kerohanian yang dicapai itu sukar diuraikan secara diskursif sebagaimana dalam bahasa falsafah secara umum, maka Ibn Tufayl menggunakan kisah perumpamaan atau alegori untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pencapaian illuminatif dalam falsafah Masyriqiyah itu.
Di tengah lautan luas, di pulau terpencil yang tidak terlalu subur, hiduplah seorang anak lelaki bernama Hayy bin Yaqzan alias Urip bin Sadar. Anak itu telah dibuang oleh ibunya ketika masih bayi dengan memasukkan ke dalam sebuah peti dan kemudian menghanyutkan peti itu ke sungai, sehingga Hayy terdampar di pulau Waqwaq yang terpencil itu. Ibunya terpaksa membuang anaknya karena kuatir dimarahi abangnya, sebab secara diam-diam dia kawin salah seorang kerabat dekatnya tanpa persetujuan dan pengetahuan abangnya. Seekor rusa betina merasa kasihan melihat bayi mungil dalam peti itu, dia ingat pada anaknya yang sudah mati beberapa waktu yang lalu. Rusa itu kemudian memelihara Hayy. Hayy bin Yaqzan ternyata tumbuh menjadi anak yang sehat dan kuat, serta dapat bersaing dengan binatang lain dalam berburu binatang kecil untuk santapannya. Namun ketika pikirannya mulai tumbuh, ia sadar betapa besar perbedaan dirinya dengan binatang-binatang lain di sekelilingnya. Misalnya saja ia menyadari sementara binatang lain berbulu, dia tidak berbulu. Untuk itu dia berusaha menutupi badannya dengan daun-daun, kulit kayu dan akhirnya kulit binatang hasil buruannya. Ia juga menyadari bahwa hewan lain memiliki senjata alami untuk mempertahankan diri ancaman, sedang dia sebagai anak manusia tidak. Maka ia pun mulai berusaha membuat senjata.
Kini usianya mencapai tujuh tahun. Tingkat pengetahuan dan kesadarannya sudah demikian berkembang. Begitu juga tehnik yang dikuasai dalam membuat pakaian dan senjata. Dia mengenakan tiga hilai daun lebar yang halus dan kulit hewan untuk menutupi tubuhnya serta menjaganya dari sengatan udara dingin dan panas. Pada suatu hari ibu angkatnya meninggal dunia. Perasaannya terpukul. Ia ingin tahu apa rahasia kematian. Tubuh rusa yang mati itu dibedahnya untuk mengetahui apa penyebab kematiannya. Ia mengetahui bahwa kematian iu secara badaniah disebabkan berhentinya denyut jantung. Setelah merenung lebih jauh ia pun mengetahui bahwa kematian disebabkan terpisahnya badan dari roh.. Kini ia mulai menyadari tentang adanya asas hayat yang disebut roh itu.
Setelah mengetahui bahwa kematian tidak langsung menyebabkan tubuh rusak, ia menyimpulkan bahwa kematian tidak lain hanyalah akibat retaknya persatuan antara Jiwa dan Tubuh. Begitulah melalui cara berpikir spekulatif, menggunakan akal murni, Hayy bin Yaqzan mengenal rahasia kematian.
Pengetahuan penting kedua setelah mengetahui rahasia kematian ialah pengetahuan tentang api dan kegunaannya dalam kehidupan. Dalam sejarah peradaban manusia perubahan besar dimulai dengan penemuan api. Dengan mengetahui cara membuat api dan mendayakan kegunaannya, Hayy bin Yaqzan mulai mampu membuat alat-alat yang diperlukan untuk mempertahan dan mengembangkan hidupnya termasuk membuat senjata. Perubahan ini pula yang kian menyadarkan betapa manusia berbeda dari hewan lain. Ia mulai mengetahui apa artinya cuaca dan suhu udara. Penelitian empiris sangat dimungkinkan terjadi sejak api didayagunakan untuk membuar peralatan. Hasil-hasil penelitian empiris itu pada gilirannya membantu Hayy bin Yaqzan untuk melangkah lebih jauh menapaki pengetahuan yang bersifat kerohanian.
Jika hendak diringkas sejak ibu angkatnya mati ingá mengenal rahasia dan kegunaan api, maka ada dua bentuk pengetahuan yang dicapainya kini. Satu ialah kesadaran bahwa kehidupan makhluq itu tersusun dari dua asas: (1) anasir-anasir jasmani dan (2) bentuk jasmani yang tersusun rapi. Pada makhluq bernyawa bentuk yang tersusun kompleks itu bisa disebut sebagai Jiwa (al-nafs), yang merupakan asas utama kehidupan makhluq bernyawa dan pada hakekatnya bukan merupakan obyek penelitian inderawi. Ia hanya bisa ditelaah melalui pemikiran akliyah atau rasional. Demikianlah Hayy menyadari bahwa daya-daya jiwa yang kompleks itu merupakan sifat-sifat yang menentukan kehidupan makhluq bernyawa.
Pada usia dua puluh tujuh tahun pengetahuan yang dicapai Hayy bin Yaqzan ternyata lebih tinggi lagi. Semua itu dicapai melalui daya upaya akal murni yang ada pada dirinya dan merupakan kemampuan rohani yang terpendam dalam setiap diri manusia. Dia mulai memikirkan benda-benda di angkasa yang luas tak terkira. Ia menemukan bahwa terdapat bintang-bintang dan planet yang tidak dapat musnah. Melalui pengetahuan tentang bintang-bintang di langit dia mulai mengetahui bahwa di belakang tabir kehidupan segala sesuatu di alam semesta ini ada Pencipta (Khaliq). Namun bagaimana keberlangsungan alam semesta bisa terjadi, Hayy bin Yaqzan tidak dapat memberikan kesimpulan apa-apa. Namun pada akhirnya dia mengerti bahwa persoalan tentang keabadian dan kesementaraan dunia tidak dapat dipecahkan dengan metode burhani atau pembuktian, khususnya dengan mencari hukum sebab akibatnya.
Dari perenungan terhadap rahasia alam semesta ini Hayy bin Yaqzan naik ke tahap pengetahuan beributnya. Ketika usianya beranjak tiga puluh tahun ia mulai merenungi keindahan dan tatanan alam yang teratur sebagai bukti tentang adanya penciptaan terencana di sebalik semua peristiwa dan kejadian. Jika memang ada Pencipta di balik semua itu, tentulah dia harus memiliki sifat-sifat yang sempurna dan bebas dari hal-hal lain di luar dirinya serta Maha Tahu, Tidak Terhingga dan Maha Indah.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang secara deras bermunculan dalam pikirannya, ia berusaha melakukan penyelidikan lebih mendalam sehingga akhirnya sampai ke tahap pengetahuan yang tinggi, yaitu pengetahuan tentang Wujud Tertinggi yang nirbendawi (immaterial) dan tanzih (transenden). Ia menyimpulkan bahwa pengetahuan seperti itu tidak dapat diperoleh melalui daya-daya jasmani seperti penginderaan, tetapi melalui daya-daya jiwa yang berbeda dari daya-daya jasmani sebagaimana jiwa berbeda dari jasmani. Daya-daya jiwa ini bisa memperoleh pengetahuan yang lebih asasi dan hakiki karena jiwa merupakan asas dan hakikat hidup manusia yang sejati. Jiwa lebih unggul atas segala yang bersifat bendawi dan bebas dari proses pembentukan dan kehancuran yang dialami tubuh jasmani. Pada tahapan ini Hayy bin Yaqzan mulai menyadari bahwa hanya Jiwa yang damai dan bahagia yang dapat berhubungan eray dengan Wajib al-Wujud (Wujud Niscaya), yaitu Tuhan Yang Satu dan Maha Besar. Ia kian jauh mengembara dalam dunia perenungan sehingga mengetahui bahwa sasaran terakhir pengetahuan ialah Wujud Nscaya.
Kaedah atau metode yang digunakan Hayy bin Yaqzan ialah instropeksi atau penyelidikan ke dalam diri menggunakan akal murni. Melalui kaedah ini dia sampai pada pengetahuan tentang hakikat diri yang sejati. Kini ia pun menyadari pertalian dirinya dengan tiga hal: (1) Alam hewan. Seperti kehidupan hewan dalam diri manusia ada tatahan kehidupan yang bersifat hewani; (2) Benda-benda langit di jagat raya. Dalam diri manusia juga terdapat alam serupa itu yang memungkinkan manusia berhubungan dengan semua hal di alam semesta. Peralatan yang menghubungkan itu ialah akal dan imaginasi.; (3)Wujud Niscaya, yang merupakan hakikat sejati diri manusia. Manusia terhubungkan dengannya melalui kasyf atau pengetahuan illuminatif.
Sebagai buah dari pengetahuan yang diperolehnya itu Hayy bin Yaqzan mampu meliliki tiga kepandaian sekaligus, yaitu (1) Cara memelihara tubuh dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya; (2) Dapat merenungi segala sesuatu yang tidak bisa dicapai dengan pengetahuan inderawi, tetapi dengan akal dan imanigasi. Pengethuan tentang hal itu semua mencapai puncaknya pada pengetahuan tentang Tuhan; (3) Cara berhubungan dengan Wujud Tertinggi melalui tafakur dan ibadah. Menurut Hayy bin Yaqzan , jiwa tidak akan pernah kehilangan sifat-sifatnya kecuali renungannya tentang Tuhan mencapai kesempurnaan. Renungan bisa sempurna apabila jiwa mengalami penyatuan dan hapus (fana’) dalam Diri Hakiki, sebagai respresentasi Wujud Tertinggi dalam kesadaran terdalam manusia.
Tidak lama kemudian sesudah itu datanglah ke pulau Waqwaq seorang ahli tasawuf bernama Absal. Tidak lama kemudian Hayy bin Yaqzan menjalin persahabatan dengan Absal, manusia lain pertama yang ia jumpai dalam hidupnya. Absal kemudian mengajarkan bahasa kepada Hayy bin Yaqzan. Setelah dapat berbicara Hayy menuturkan pengalaman hidup dan pengetahuan yang diperolehnya selama ini. Persahabatan menjadi semakin akrab karena Absal pun sebenarnya sedang meneliti hal yang sama dalam hidupnya. Pengetahuan yang dicapai Hayy bin Yaqzan semakin memperkuat keyakinan Absal terhadap akidah yang selama ini dia pegang teguh.
Absal lantas mengajak Hayy supaya menyebar luaskan ajarannya kepada penduduk di pulau lain yang merupakan tempat kelahiran Hayy. Hayy menyetujui ajakan itu, lantas mereka pergi ke pulau yang dimaksud. Malangnya pengajaran yang disampaikan Absal dan Hayy kurang memperoleh penerimaan dar penduduk, yang púas dengan pengetahuan rendah. Karena itu keduanya lantas meninggalkan penduduk dan kembali ke pulau Waqwaq untuk melanjutkan perenungannya tentang hakekat Wujud Tertinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

huh,