Surabaya, 02 Juli 2012
Teruntuk
: Ummi & Aba
Yang selalu di ridhai Allah dan
Nandapun mengemis ridha ajunan.
Apakah engkau tega ?
Menjadikan kami berpikir, Nak?
Apakah engkau sampai hati ?
Menjadikan kami susah, anakku?
Pikirkan lagi, sayang ?!
Sudah bulatkah keputusanmu ?
Tidak adakah waktu tunda
Hingga kami mampu,
Memberikan yang terbaik untukmu, Nak?
Bukankah jalanmu masih panjang ?
Bukankah impianmu belum kau gapai?
Bukankah cita-citamu belum terwujud?
Bersabarlah anakku....
Kejar dulu cita-citamu
Raih mimpimu
Itulah
kisi-kisi yang sering kali menggelora dalam benak kebanyakan orang tua
saat buah hatinya menyampaikan niat ‘menyempurnakan separuh AgamaNya’, namun
ada juga beberapa type orang tua yang memiliki kriteria tersendiri dalam
mencari menantu, seperti memberinya pasangan yang kaya raya. Hal ini sebenarnya
tidak berlebihan, sebab yang namanya orang tua pasti ingin menyaksikan
kehidupan anaknya secara berkecukupan, namun perlu diingat bahwa kecukupan itu
tidak bisa dinilai melalui sisi materi saja, akan tetapi sisi psikis juga
sangat great.
Selain
dari sisi materi, kadang para orang tua berpikir tentang harkat, martabat dan
nilai gensi. Mungkin inilah khazanah kemanusiawian manusia. Padahal
sebenarnya point of view ala Rasulullah ‘telah cukup sangat’ diketahui
mayoritas orang tua.
Sudah Dewasakah ?
Ada saatnya bagi seorang anak untuk mendapatkan
legitimasi atau pengakuan dari orang tua. Karena adakalanya orang tua
memperlakukan anaknya yang telah tumbuh dewasa seperti memperlakukan anak kecil
yang tidak tahu apa-apa, dari mulai makanan, pakaian sampai pada atribut yang
melekat pada tubuh, mereka ikut mengatur. Terlebih urusan jodoh.
Maaf, bukannya hendak menyalahkan orang tua. Tapi
begitulah kenyataannya, perlakuan orang tua memang mencerminkan seberapa besar
rasa sayangnya pada sang buah hati, namun perlakuan semacam itu bisa
menyebabkan seorang anak menjadi minimalize person, selalu kecil.
Sehingga ketika terbesit keinginan dalam perkara besar, para orang tua merasa
berat dan belum percaya sepenuhnya pada kemampuan anak.
Serius Ingin Menikah !
Wahai Ummi, duhai Aba...
Nanda serius ingin menikah.
Mengapa ajunan tertawa ?
Menganggapku bercanda
Mengapa ajunan cemberut ?
Mari sampaikan, mengapa nanda
dianggap tabu ?
“Wahai
pemuda, barang siapa diantara kalian mampu memberi nafkah, maka menikahlah,
karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat menahan pandangan mata dan
melindungi kemaluan, jika kalian belum mampu maka berpuasalah, sebab puasa itu
dapat menjadi penawar bagi nafsu” (HR.
Muslim).
Memang
nanda belum memiliki pekerjaan tetap, namun nanda yakin setelah menikah rizki nanda
akan semakin bertambah, karena kadar rizki dua orang (Suami-Istri) akan
mengalir pada kepala keluarga (Suami), terlebih jika telah memiliki anak yang
notabenenya rizkinya sudah termaktub olehNya. Terlebih nanda yakin pada qaul
Ibn Mas`ud ; Carilah kekayaan dengan menikah, maka menikahlah agar kaya.
Akan tetapi nanda juga tidak takabbur dengan hal ini, sebab Rasulullah
bersabda ; Barang siapa yang menikah hanya karena hartanya saja, niscaya Allah
tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kefakiran (HR. Abu Daud )
Menikah adalah jurus jitu bagi mereka yang khawatir
terjerumus ke lembah yang nista, sebab gerbang pernikahan merupakan pintu dari
segala bentuk kelakuan yang memiliki ujrah ukhrawi.
Beberapa
pihak sering beranggapan bahwa menikah terlalu muda akan menyita masa muda,
tapi bagi nanda, hal itu kurang benar. Menikah bukan berarti menyita masa muda,
menikah malah memperindah masa muda.
Biarkan Nanda Menentukan
Pilihan
Menentukan
pendamping hidup memang bukan pekerjaan yang ringan, perlu pertimbangan,
perhitungan dan tentunya istikharah.
Nanda
yakin bahwa langkah ini tidak boleh ditangani sembarangan, tidak boleh
asal-asalan atau bahkan coba-coba seperti layaknya hendak membeli baju ataupun
celana. Coba sana, coba sini, kemudian meninggalkan dalam kondisi acak-acakan.
Tidak
juga seperti ketika hendak membeli durian, menciumi satu persatu, lalu yang
paling harum dibeli.
Tidak
juga seperti membeli sesuatu di super market yang tinggal ambil, kemudian
membayar, tanpa meneliti lebih lanjut apakah barang yang akan dibeli memiliki
cacat atau tidak. Padahal dalam struk sudah sangat jelas ada tulisan ; Maaf,
barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi”.
Masalah
pendamping adalah sangat urgent, karena hal ini berhubungan dengan masa
depan. Pendamping yang kita pilih adalah yang nanti senantiasa mendampingi
hidup, sentiasa tersenyum saat kita butuh, senantiasa menjadi penghibur lara
saat sedih, senantiasa menjadi peramai suasana kala sepi, senantiasa menjadi
tempat curhat saat ada permasalahan, bahkan hunna libasullakum wa antum
libasullahun.
Oleh
karena itu, pilihan harus tepat. Sesuai dengan prinsip dan naluri, tidak boleh
ada pemaksaan ataupun keterpaksaan.
Dengan
kerendahan hati yang paling dalam, idzinkanlah nanda menikahi pilihan nanda.
Jika dalam benak ajunan masih ada keraguan, tolong ambillah sisi
positifnya saja. Bukankah nilai positif tetap ada, walaupun nilai negatif
selalu merasuki jiwa manusia.
Nanda
sudah beberapa kali membahasnya dengan ummi, namun entah karena apa, beliau
selalu mengabaikannya.
Menurut
hemat nanda, pilihan nanda sudah standart dengan pribadi yang dhaif ini.
Memang benar firmanNya, at-thayyibiina litthayyibaat, insyaallah takaran
tersebut sudah Tuhan yang mengatur.
Insyaallah istri nanda sudah masuk dalam Sabdanya ; “
sebaik-baik wanita adalah kalau memandangnya bisa menyenangkan, kalau
diperintah bisa menaati, kalau diberi bagian bisa menerima dan kalau kamu pergi
dia bisa menjaga diri serta menjaga hartamu” (HR. Nasa`i).
Menikah, Tidak Hanya Urusan
Uang
Nanda
jadi teringat kisah seorang sahabat yang ingin menikah namun beliau tidak punya
uang. Singkat cerita sahabat yang ikhlas ini mendatangi Rasul dan menyampaikan
keinginannnya.
Lalu Rasul yang mulia bertanya ; “ apakah engkau punya
sesuatu untuk dijadikan sebagai mahar?” .
Ia menjawab ; “ saya tidak punya apa-apa kecuali ‘niat yang tulus’ dan
‘sarung yang sedang saya pakai ini’. Kemudian Rasul berkata lagi : “ jika
engkau memberikan sarung itu sebagai mahar, tentu engkau tidak memiliki penutup
aurat lagi, maka coba cari sisa benda berhargamu walau cincin besi”. Namun sayang
sahabat itu benar-benar kere, artinya memang tidak punya apa-apa.
Lantas bagaimana? Apakah Rasulullah gengsi pada
sahabatnya? Atau justru pernikahannya dibatalkan? Ternyata tidak !
Sungguh, Rasulullah yang mulia ini kemudian menyuruh
sahabat tersebut memberi mahar mengajarkan bacaan Al-Quran pada istrinya. Subhanallah!
.
Inilah letak perbedaan kaum berpendidikan dan tidak
berpendidikan.
Maka nanda menilai lazim bila secara harfiyah,
Rasul memerintahkan menafkahkan istri, bukan memberikan uang pada istri. Sebab
yang namanya nafkah (baca juga rizqi) tidak hanya berbentuk uang, nafkah
itu sungguh sangat luas maknanya.
Tak
perlu muluk-muluk dan terlalu tinggi, jika menikah bisa dilakukan dengan
sederhana, mengapa mesti menabur banyak uang. Mubadzir. Bukankah
esensial dari pernikahan adalah mengikuti Sunnah Rasul, bukan ajang pamer.
Penutup
Permohonan maaf bermutiarakan airmata yang mengemis
senantiasa mengiringi langkah anakmu, Hanani.
Sungguh, apa yang nanda lakukan sudah nanda pikirkan
dengan matang, namun inilah nanda yang berlumur kedhaifan, sesuai
Firmannya ; Manusia diciptakan benar-benar dengan penuh kelemahan.
Akhirnya, hanya pintu maaf
yang nanda harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
huh,