Islam, Agama dan Peradaban[1]
Berbicara
Islam, ibarat mengarungi samudera luas yang tidak pernah ada tepinya, bahkan
akan banyak dihiasi dengan keindahan, walaupun terkadang akan ditemukan juga
beberapa nuansa yang akan membuat romantisme hilang.
Dan
tidak cukuplah selembar bahkan satu fahras bahasan yang akan
menyempurnakan pembahasan Islam.
Islam berasal dari akar kata Salima (selamat), sedangkan
pemeluknya disebut Muslim (terselamatkan). Dari definisi harifiahnya
saja kita bisa memahami bahwa Islam mengajak pada keselamatan. Berdasarkan
ajaran Islam, tujuan hidup manusia tidak hanya selamat di dunia saja, tapi juga
di akhirat[2].
Adalah Muhammad bin Abdullah seorang Rasul yang diutus
membawa risalah Islam. Islam dalam pandangan kacamata siapapun merupakan
agama yang fenomena, sebab hanya di sebarkan melalui fase yang paling singkat,
yakni 23 tahun saja, hal ini dihitung sejak diwahyukan Al-Quran yang merupakan
azas dan pondasi Islam. Dengan masa kaderisasi hanya 23 tahun saja, Islam
menjadi agama yang fantastis, karena
hampir menguasai sepertiga belahan dunia. Akan tetapi hal ini terkadang
menimbulkan pro dan kontra, sebab penyebaran Islam dinilai lebih banyak
menggunakan pedang (berperang) dari pada dengan cara lain seperti melalui ahwal,
perdagangan, perkawinan maupun kesadaran karena melihat realita kebenaran
ajarannya.
Namun ditangah konspirasi tersebut, yang patut kita
fahami adalah pengakuan sebagian sejarawan bahwa Rasulullah dalam menyebarkan Islam
menggunakan pendekatan kultural, dengan tujuan mengakrabkan teori agama dengan
tahapan – tahapan tertentu sehingga Islam bisa diterima dengan tangan terbuka[3].
Adapun agama sering difahami sebagai aturan, artinya
seorang pemeluk agama diharuskan patuh pada aturan yang diberikan oleh
pembawanya. Jadi agama memiliki norma-norma yang harus diikuti pemeluknya, tapi
tidak jarang agama dianggap hanyalah pikiran masusia yang menghantui dan
membatasi pola dan tingkah laku pemeluknya.
Terkadang agama diidentikkan dengan sopan santun dan
kasih sayang, sebab poin utama nilai beragama terlihat pada sopan santun dan
kasih sayang.
Maka pada nilai positif dari semua agama adalah melakukan
tradisi yang baik dan di kembangkan supaya menjadi konsistensi dalam hidup
manusia. Hal ini akan menarik bila dihubungkan dengan ungkapan bijak Muhammad Abduh untuk direnungkan
bersama:
“Nata’âwan ‘alâ mâ nattafiq, wa natasâmah fîmâ
nakhtalif”.
Mari kita bahu-membahu dalam hal-hal yang
disepakati dan bersikap toleran dalam hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat[4].
Sedangkan
peradaban (Hadhaarah, Civilization) memiliki ide utama kemajuan, baik
kemajuan moral, keilmuan, tekhnologi dan lain-lain. Dan seperti kata pepatah ; tak
ada gading yang tak retak, peradaban memiliki dua sisi berbeda. Pertama,
peradaban yang dibangun untuk kemajuan dan terus menunjukkan diri bisa
konsisten serta lebih berkembang. Kedua, peradaban yang dirancang better
namun semakin lama semakin terkikis dan hancur tak tersisa, bahkan
sejarahpun hanya mendengar ceritanya saja tanpa mampu menyaksikan keberadaannya
yang nyata.
Karakter Peradaban Islam
Islam
yang dalam sejarahnya memiliki masa keemasan pada setiap generasi memiliki
beberapa ciri khas tersendiri. Baik pada masa jahily, shadrul Islam, dinasti
Umayyah, dinasti Abbasiyah, kerajaan-kerajaan kecil, dinasti Turki Ustmani
hingga periode kontemporer.
Akan
tetapi bila ditarik benang merah kesamaannya, ada beberapa karakter peradaban
yang melekat dan seakan-akan menjadi ruh Islam.
Misalnya
tradisi keintelektualan dari berbagai aspek keilmuan seperti gramatikal bahasa,
sastra, matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, arsitektur dan lain-lain.
Hal ini dipelopori Ali bin Abi Thalib hingga pada masa pertengahan melahirkan
Ibnu Khaldun, Ibnu Arabi, Al-Farabi, Al-Khawarizm, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan
lain-lain sampai masa kontemporer seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, M. Iqbal, Yusuf Qardhawi sampai Said Ramadhan al-Buthi[5].
Selain
itu, tradisi militer dan keprajuridan merupakan kebanggaan tersendiri, dimulai
dari kisah heroic Umar al-Faruk dan Khalid bin Walid di zaman klasik,
Thariq bin Ziyad, al-Hajjaj dan Shalahuddin al-Ayyubi pada masa pertengahan
hingga Muammar al-Khadaffi di era kontemporer.
Kemahiran
dalam hal administrasi seperti penataan kota, birokrasi dan pengelolaan kas
negara (bayt al maal) merupakan warisan peradaban Islam yang tidak bisa
kita pungkiri, walaupun ada beberapa sejarawan yang menilai bahwa hal ini adalah
bawaan dari kebudayaan Persia yang era keemasannya lebih dahulu muncul, dan
kemudian diadopsi oleh peradaban Islam
Disamping
itu, peradaban Islam juga dikenal dengan revolusi gender. Dimana Rasulullah
dikenal telah memprakarsai penghapusan peradaban jahily yang tidak
relevan dengan nilai kesetaraan. Misalnya mengubur bayi perempuan, menjadikan
perempuan warisan dan menolak keberadaan perempuan dalam bias hak waris serta
adat menceraikan perempuan secara tidak layak[6].
Kesimpulan
Agama
Islam dan peradaban tidak bisa dipisahkan, bisa dikatakan keduaya seperti ruh
dan jasad, artinya bila dipisahkan hanya akan menghadirkan hantu atau bangkai.
Maka jika kita hendak mengetahui peradaban dunia, otomatis Islam memiliki nilai
otentik positif yang tidak bisa dipisahkan, sebaliknya bila kita ingin mengenal
Islam lebih dalam, maka peradaban yang dinikmati dunia sekarang adalah contoh
kecil ‘goresan pena’ yang pernah dilukiskan Islam dan menjadi sumbangsih besar
pada dunia.
Karakter
peradaban Islam bisa kita kenal dengan nilai keintelektualan diberbagai
disilpin ilmu, militer, administrasi hingga bias gender. Meskipun secara sadar
atau tidak beberapa karakter peradaban Islam kini mulai merangkan mengiblat
pada dunia barat, sebab sumber daya yang dimiliki intelektual muslim semakin
terkikis oleh zaman.
[1] Ditulis sebagai tugas Resume Harian
Matakuliah Sejarah Peradaban Islam yang diampu oleh Dr. Muhammad Wildan, MA.
[2] Siti Maryam Dkk, Sejarah
Peradaban Islam ; Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta : LESFI,
2002) Hal. 39
[3] Ahwan Mukarrom, Sejarah Kebudayaan Indonesia II, (Surabaya: Adab IAIN
Sunan Ampel Preaa, 1992) Hal. 19
[4] Abdullah Hakam Shah, Islam
Transnasional ; Dari Ancaman Menjadi Alternatif
(Surabaya:Jurnal FKMSB Vol III, 2009) Hal. 3
[5] Siti Maryam Dkk, Sejarah
Peradaban Islam ; Dari Masa Klasik Hingga Modern, Hal. 75
[6] Sahiron Syamsuddin Dkk, Islam, Tradisi dan
Peradaban, (Yogyakarta : Bina Mulia Press, 2012) Hal. 204