Pendahuluan
Hubungan kajian
filsafat dan bahasa seperti gula yang tidak pernah bisa berpisah dengan
manisnya. Maka lazimlah bila para filosuf sependapat bahwa hubungan keduanya
sangat erat, bahkan tidak dapat dipisahkan.
Romantisme antara
filsafat dan bahasa sebenarnya sudah terjalin sangat kuat sejak zaman Yunani,
akan tetapi eksistensinya bisa dikatakan pasang surut, hal ini disebabkan
karena perhatian para filosuf dipengaruhi oleh problema tertentu yang sedang
menjadi isu trend di zaman itu.
Seiring berkembangnya
zaman, para filosuf mulai sadar bahwa
bahasa merupakan sarana yang utama dalam filsafat, sebab bahasa memiliki washilah
untuk filsafat, maka para kaum sophist mulai menaruh perhatian terhadap bahasa, dan
sejak saat masa inilah berlomba - lomba
muncul beberapa karya yang menjelaskan
filsafat bahasa, sebut saja mahakarya Partes Orationis, Oratio, Trivium
dan Quadrivium serta lain-lain.[2]
Jabat Tangan Antara Filsafat (dan) Bahasa
Filsafat merupakan
disiplin ilmu yang terus menerus secara continous mencari hakikat sebuah
kebenaran, hal ini senada dengan definisinya, yakni cinta akan kebiaksanaan, philosophia.
Sementara bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh siapapun untuk
memberikan ekspresi, perasaan, keinginan ataupun ungkapan ungkapan hatinya.
Maka tak salah
kiranya jika seorang filosuf berpendapat bahwa hubungan keduanya sangat
bersinergi, yakni (dalam pengertian pokok bahwa) tugas utama filsafat adalah
analisis terhadap konsep, sedangkan tugas bahasa adalah sebagai jembatan untuk
menyampaikan konsep tersebut.
Ringkasnya, para
filosuf memberikan dua pengertian terhadap filsafat bahasa. Pertama, perhatian
filosuf terhadap bahasa dalam
menganalisa, memecahkan, dan menjelaskan problema dan konsep filosofis. Kedua, perhatian
filosuf terhadap bahasa sebagai sarana dalam membahas dan mencari hakikat bahasa yang pada gilirannya menjadi sebuah paradigma bagi
perkembangan filsafat.[3]
Karena bahasa
merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi dan sarana pengejawantahan
pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari, tentunya bahasa memiliki hakikat
tersendiri, utamanya bila disandingkan dengan filsafat yang selalu beraktivitas
dan berpangkal untuk menemukan kearifan dalam hidup.
Bahasa memiliki
dua varian, inklusif dan eksklusif. Dimana varian inklusif sering diartikan
sebagai bahasa yang tidak digunakan dalam komunikasi sehari-hari, misalnya
bahasa musik, bahasa cinta bahkan bahasa semesta. Sedangkan bahasa eksklusif
ialah bahasa yang digunakan sebagai komunikasi sehari-hari. Artinya, varian
kedua inilah yang lebih cenderung kondrati untuk dijadikan obyek falsafi. Yang
dengan varian eksklusif pula kita bisa memaknai sebuah konsep filsafat secara meaningfull
maupun meaningless.[4]
Substansi Filsafat Bahasa
Tanpa bahasa,
sungguh para filosuf tidak akan pernah bisa berfilsafat, akan tetapi tanpa
filsafat kita masih bisa berbahasa. Namun tentu saja hal ini akan terjadi tanpa
berdasarkan argumentasi yang bernalar dan tak arif pula. Begitulah repsentasi
makna berfilsafat bahasa yang sangat urgent sekali.[5]
Kajian bahasa
dalam ranah filsafat bisa dikatakan
sebagai pondasi yang kuat untuk membentuk sebuah meaning, karena bahasa
memiliki kelemahan-kelemahan yang tidak pernah bisa dipecahkan kecuali dengan
menggunakan filsafat. Kelemahan bahasa antara lain ;
1.
Vagueness
(kesamaran), artinya bahasa ibarat seperti mata yang tidak pernah
bisa melihat pada dirinya sendiri, dia perlu alat bantu yang bernama cermin.
Begitu pula bahasa yang samar, perlu bantuan filsafat untuk mengetahui
eksistensinya. Misalnya kata kupu-kupu malam untuk menyebutkan wanita
penghibur.
2.
Contex-depedence
(tergantung pada konteks), bahasa peranannya sangat lentur,
sehingga kita mesti mengetahui konteks penggunaannya. Misalnya istilah Jancuk
di daerah Surabaya dan wilayah Yogyakarta tentulah berbeda. konteks Jancuk
di Surabaya menunjukkan sikap kedekatan, seperti contoh ajakan ngopi antara
seorang kawan yang sangat lazim menggunakan istilah ; cuk, ayo ngopi. Bahkan
sampai ada brand yang memproklamirkan dirinya bernama Cak-Cuk
(diambil dari Jancuk). Fenomena ini sungguh akan sangat mustahil terjadi
di wilayah Yogyakarta, sebab konteks Jancuk memiliki konteks yang jorok
menurut mereka.
3.
Misleadingness
(menyesatkan), tidak jarang bahasa dituturkan dengan kecenderungan
emosi yang tidak terarah atau istilah
lainnya bahasa dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Seperti bahasa orasi tim
kampanye salah satu partai yang berseru wa laa taqrabaa hadzihi as-syajarah untuk
melarang massa mencoblos salahsatu partai yang berlogo pohon.[6]
Maka karena
kerancauan inilah kemudian muncullah aliran-aliran filsafat bahasa, seperti
Atomisme logis, Positivisme logis dan Filsafat bahasa biasa ( ordinary
language philosophy ).
Atomisme logis
dipelopori oleh Bertand Russel, aliran ini mendewakan kesederhanaan dalam
ide-ide ungkapan, sehingga mudah difahami, dapat dicerna oleh setiap orang dan
logis. Aliran ini menolak keras ungkapan yang tidak masuk akal, seperti Jiwa itu adalah Abadi, waktu adalah tidak
real, maupun roh absolout.
Sedangkan Positivisme logis merupakan aliran yang digagas oleh
kelompok yang menamakan dirinya lingkaran Wina, Austria. Seperti namanya,
aliran ini corak pemikirannya tentu saja bersifat positif dan bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Misalnya ungkapan perbuatan ini adalah
benar dan hukuman itu menyakitkan.
Adapun Filsafat bahasa
biasa (yang sering pula dianggap aliran Oxford, karena mayoritas diikuti oleh
aktivis Oxford) merupakan aliran yang berprinsip jangan menanyakan makna, tapi
tanyalah tentang penggunaan bahasa. Contohnya ungkapan Amin lebih tua dari
bapaknya, ungkapan ini maknanya diluar logika namun penggunaannya sudah
standart, baku dan benar.[7]
Penutup
Bahasa jelas
adalah simbol dan makna yang mewakili setiap pemikiran. Berdasarkan realita
ini, siapapun senantiasa akan memiliki relasi baik dengan bahasa termasuk
seorang filosuf. Filosuf yang dikenal dengan karakter bijak dan maju dalam
mengungkapkan hasil pemikirannya tanpa bantuan bahasa takkan pernah berkutik.
Dari fenomena ini
kajian filsafat bahasa memiliki hakekat yang sangat vital dalam tradisi
keilmuan.
Daftar Bacaan
Alwasilah, Chaedar., 2008. Filsafat
Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Hidayat, Ahmad Asep., 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat
Bahasa, Makna dan Tanda.
Bandung: Remaja Rosdakarya
MS, Kaelan., 2002. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya.
Yogyakarta: Paradigma