Analisa Eklektisisme Dalam Pemikiran Ahmad Dahlan
Pada Buku Matahari Pembaharuan ; Rekam Jejak Ahmad Dahlan
A.
Pendahuluan
Di Indonesia ada
dua tokoh besar (Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy`ari) yang berguru pada seorang
tokoh besar pula (Syaikh Khatib As-Sambasi). Seperti kata pepatah ; tidur
sebantal dengan mimpi yang berbeda, begitu mungkin. Kedua tokoh besar itu
kemudian mendirikan organisasi terbesar dan antara satu dan yang lain sangat
memiliki perbedaan yang sangat jauh, utamanya dibidang tradisionalis dan
modernis. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah dan Hasyim Asy`ari melalui Nahdlatul
Ulama`nya.
Nasruddin Anshoriy
Ch bukanlah menulis biografi dari Ahmad Dahlan, dalam tulisannya dia hanya memaparkan
data sejarah yang berhasil dikumpulkan, utamanya berkaitan dengan nilai sosial,
agama, edukasi dan perjuangan lain yang menjadi sepak terjang Ahmad Dahlan. Hal
ini bertujuan supaya jasanya tidak hanya dikenang generasi penerus, akan tetapi
agar menjadi teladan dalam berpijak dan menjadi ‘api pembakar’ semangat
perjuangan.
Berbicara tentang
keislaman di Indonesia, maka kita tak akan luput dari seorang tokoh besar yang
memberikan banyak sumbangsih dan perubahan pada nilai-nilai religius,
dialah pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan.
Bila Mesir
memiliki Muhammad Abduh sebagai pembaharu, maka Indonesia memiliki Ahmad Dahlan
sebagai mujaddid. Ahmad Dahlan tidak hanya dihormati kawan, dia juga
disegani lawannya, bahkan karena beberapa jasanya, dia dinobatkan sebagai
pahlawan Nasional.
Tercatat ada
beberapa peristiwa yang menurut hemat penulis mengundang kontroversi, utamanya
bila dikaitkan dengan zaman dimana Ahmad Dahlan hidup. Maka beranjak dari
permasalahan yang dianggap kontroversi dan nyeleneh inilah penulis
berusaha memecahkan masalah dan menemukan jalan keluar.
Adalah analisa
teori sosial Eklektisisme yang digunakan penulis dalam membedah problema kontroversi yang
menimpa perjuangan Ahmad Dahlan. Hal ini penulis anggap sangat cocok dan
relevan, sebab kontroversi yang terjadi adalah kontroversi sosial dan analisa
pembedahnya adalah teori yang memang mengupas musykilah sosial pula.
B. Pembahasan
1. Konsep Eklektisisme
Eklektisisme
diambil dari bahasa Inggris electicsm yang bermakna pandangan yang
berusaha menyelidiki dan mengetahui berbagai sistem metode, teori atau doktrin
yang dimaksudkan untuk memahami dan menerapkannya dalam situasi yang tepat.
Maka tujuan dari eklektisisme ini ialah mengembangkan integritas berbagai
sistem metode, teori atau doktrin itu sendiri pada level tertinggi dengan
ditandai adanya aktualisasi diri yang memuaskan. Jadi fokus eklektisisme secara
langsung pada tingkah laku, tujuan dan masalah yang akan dihadapi tidak hanya
pada waktu itu, tapi secara berlanjut.
Promotor dari
eklektisisme ini adalah Frederick Thome, dia pertama kali menulis eklektisisme
dalam Journal of Clinical Psychology pada Tahun 1945 dan disusul dengan
pengikut-pengikutnya seperti Brammer, Shostrom, R. Carkchuff hingga G. Egan dan
Prochaska.
Akan tetapi,
eklektisisme juga memiliki nilai minus dan penuh dengan keterbatasan, misalnya
adanya intervensi-intervensi yang kadang diadopsi tanpa dipikirkan baik-baik
oleh seorang yang sudah sangat fanatik pada satu metode, teori atau doktrin
bahkan pada tokoh yang dianggapnya sempurna.
Alasan besar
mengapa eklektisisme sangat urgent. kondisi public yang
senantiasa berkembang, karena bisa dipastikan tidak akan pernah ada situasi
yang statis di ranah public. Adapun langkah sebagai jalan keluar untuk
menerima eklektisisme adalah dengan interview sebagai strategi membangun
atau menciptakan struktur hubungan pada metode, teori atau doktrin, kemudian
melakukan asesmen (meramalkan pandangan metode, teori atau doktrin) serta bisa
bersikap fleksibel dan membuka perubahan ide yang kemungkinan terjadi dalam
memecahkan masalah metode, teori atau doktrin.
2.
Eklektisisme Dalam Pemikiran Ahmad Dahlan
Bila kita membaca
buku Matahari Pembaruan yang menjadi obyek analisa penulis, atau pernah
menonton film Sang Pencerah, maka ada beberapa kejadian unik yang dilakukan
oleh Ahmad Dahlan, dalam hal metode dakwah misalnya. Setidaknya penulis
menggaris-bawahi tiga peristiwa penting yang pada hakikatnya bertentangan
dengan kebiasaan masyarakat waktu itu, namun oleh Ahmad Dahlan Justru di
jadikan sebagai ‘pintu’ yang menjadi jalan bagi kita untuk ‘masuk’ pada
kesadaran baru.
Peristiwa itu
terjadi di langgar
Ahmad Dahlan, tepatnya saat dia mengajarkan Quran. Kebetulan ayat yang
dibaca adalah Surat Al-Ma`un. Cara mengajar beliau sebenarnya sama dengan para
kiai di langgar-langgar lainnya, hanya saja yang berbeda adalah telah
berminggu-minggu materi yang diajarkannya tetap sama, yakni Surat Al-Ma`un.
Akhirnya timbullah
gejolak di hati para muridnya, hingga ada salah satu dari mereka yang berani
bertanya pada Ahmad Dahlan ;
“Kiai, maaf.
Bukankah sudah secara continous kita membaca ayat ini (Surat Al-Ma`un) ? padahal
di langgar sebelah sudah membaca beberapa Juz.”
Ahmad Dahlan
mendengar pertanyaan ini langsung menjawab ;
“ Tidak penting
dan tidak ada gunanya kita ngebut
dalam mengaji, sebab aku tidak ingin mengajar kalian membaca saja, aku ingin
mengajar kalian membaca dan mengamalkan isinya. Lalu mengapa kita masih tetap
membaca ayat ini? Memang sudah berapa anak yatim dan fakir miskin yang kalian
santuni hari ini? Bukankah ayat ini mengajarkan kita untuk memberi dan
mengasihi, utamanya pada mereka yang ada dibawah kita?
Maka mendengar kalam
Ahmad Dahlan, serentak para muridnya segera mungumpulkan sedikit demi
sedikit beras dan uang sen yang mereka punya kemudian menelusuri daerah Kauman
untuk membagikan beberapa beras dan uang sen tersebut sehingga mereka
benar-benar mengamalkan apa yang menjadi impian gurunya itu.
Semenjak itulah
pengajian di langgar Ahmad Dahlan tidak sekedar belajar ‘mengaji
ritual’, tapi belajar pula bagaimana ‘mengaji sosial’ itu harus diaplikasikan.
Dan tanpa menunggu dawuh dari Ahmad
Dahlan lagi, para murid akan melakukan apa yang sudah dijelaskan pada mereka
sesuai dengan isi Quran (pengajian).
Begitulah Ahmad
Dahlan, dia tidak hanya da`wah bil qaul namun juga da`wah bil haal. Saat
kebiasaan masyarakat mengaji dan ingin segera khatam Quran sebagai lambang
kedewasaan (kala itu), dia justru sedikitpun tidak bergeming, bahkan sangat
bertolak belakang melakukan eklektisisme dalam metode berdakwah, bahkan hal ini
cenderung tidak lazim pada zamannya.
Selain kejadian
yang masyhur dengan ‘fenomena Al-Ma`un’ ini, ada juga peristiwa lain
yang sangat kontroversial, yakni terjadi saat awal mula didirikannya Madrasah
Ibtida`iyyah.
Asal muasal
madrasah ini adalah kegelisahan Ahmad Dahlan melihat para anak-anak pribumi
tidak memiliki dasar pendidikan yang baik, bahkan kebanyakan dari mereka
menjadi pengangguran dan menghabiskan waktu dengan percuma alias terbuang
belaka, padahal syubbanul yaum, rijalul ghadh. Pemuda hari ini adalah
pemimpin di masa yang akan datang.
Namun, perjuangan
yang sesungguhnya sangat luhur ini di tentang masyarakat, karena sistem
pendidikannya sama dengan pendidikan yang di kelola oleh Belanda. Mulai dari
pakaian, bangku, cara menulis dan lain sebagainya.
Ahmad Dahlan mulai
disebut sebagai orang yang berhati Belanda namun berkulit muslim, hal ini tidak berlebihan, karena memang saat
itu ada jargon man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhun, barang siapa
menyerupai (hal apapun) terhadap sebuah golongan, maka sungguh dia adalah salah
satu dari golongan itu.
Semua masyarakat
mencibir Ahmad Dahlan dan para muridnya, peristiwa ini berakhir tatkala ada
seorang kiai yang datang ke Madrasah Ahmad Dahlan dan bertanya ;
“Mengapa engkau
mendirikan sekolah ini? Bukankah sistemnya kafir, seperti para kompeni belanda
itu?”
Ahmad Dahlan
Menjawab ;
“Kiai, sebelum
saya menjawab pertanyaan anda. Tolong jawab dulu pertanyaan saya,
ngomong-ngomong kiai berangkat dari rumah ke sini naik apa?”
“ ya tentu
dengan mengendarai kereta api, masa saya mau pake sepeda onthel, kan ada yang
lebih ringkas” jawab kiai tersebut.
Maka Ahmad Dahlan
segera menanggapi jawaban kiai kharismatik itu dengan berkata;
“kalau begitu
kiai salah, seharusnya kiai tidak boleh menyalahkan sekolah saya hanya karena
sistemnya seperti Belanda. Sebab ternyata kiai juga mengambil faidah dari
Belanda, buktinya kiai lebih memilih mengendarai kereta api yang dibuat oleh
Belanda.....”
Belum selesai
Ahmad Dahlan berkata, kiai yang tadi marah marah itu kini wajahnya pucat,
kemudian tanpa sepatah katapun kiai itu pergi tanpa pamit dari rumah Ahmad
Dahlan.
Hikmah dari kisah
ini sangat jelas, adanya eklektisisme dalam metode dakwah Ahmad Dahlan belum di
terima public, walaupun sebenarnya dalam dunia pendidikan tak ada
istilah kafir dan muslim, sebab yang namanya ilmu adalah kebutuhan primer
manusia. Bahkan Allahpun akan mengangkat derajat seorang yang berilmu,
sebagaimana seorang yang beriman.
Selain itu, kisah yang penulis angkat yang
juga memiliki nilai eklektisisme adalah saat berdirinya PKU (Penolong
Kesengsaraan Umum) yang menjadi cikal-bakal adanya rumah sakit atau poliklinik
di Indonesia.
Kisahnya, saat
terjadi letusan gunung Kelud di Blitar-Kediri, Ahmad Dahlan berusaha menjadi
relawan, dan otomatis murid serta simpatisannya ikut bergabung, akan tetapi
sayang seribu sayang tim Ahmad Dahlan dan kawan-kawan tidak mempunyai dokter
yang benar-benar ahli menangani hal obat dan pengobatan.
Maka timbulah ide
untuk mengajak dokter dari kompeni Belanda untuk menjadi tim mereka. Sontak,
hal ini membuat pro dan kontra di kalangan masyarakat, sebab saat peristiwa ini
terjadi (1918) kompeni Belanda adalah musuh besar rakyat, karena Belandalah
yang menjajah dan memasung rakyat di Negerinya sendiri.
Akan tetapi ide
Ahmad Dahlan yang langka bahkan terkesan radikal ini mencerminkan gagasan dan aksi
sosial yang nyata, bahkan menunjukkan kepedulian tinggi terhadap nasib rakyat
yang menderita dan mengesampingkan nilai ideologi yang mengakar pada rakyat
bahwa semua Belanda adalah jahat, padahal dokter yang dikirim dari Belanda
memang bertugas menyembuhkan dan menjadi divisi kesehatan, tidak hanya bagi
Belanda tapi juga bagi rakyat yang di jajahnya.
Hikmah lain dalam
kisah ini adalah adanya toleransi yang sangat tinggi. Toleransi adalah
persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu, jika toleransi
menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang harmonis, maka hasil itu harus
difahami sebagai manfaat atau hikmah. Terlebih toleransi merupakan azas dari
terciptanya masyarakat madani yang selalu diidamkan masyarakat.
Selanjutnya, kita
berbicara tentang doktrin yang diwariskan Ahmad Dahlan. Doktrin yang
ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan lebih banyak tergambar pada leadership
principle (prinsip kepemimpinan), namun sayangnya dewasa ini banyak orang
yang tidak tahu makna dan hakikat kepemimpinan, bahkan mayoritas dari mereka
salah faham pada arti kepemimpinan itu sendiri.
Dewasa ini
kebanyakan orang melihat bahwa kepemimpinan adalah kedudukan atau posisi
semata, maka akibatnya banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin dengan
menghalalkan segala cara, padahal sebenarnya kepemimpinan ialah lahir dari
pribadi kita saat bisa memimpin diri sendiri, keluarga maupun lingkungan
sekitar. Di samping itu, kepemimpinan mesti diukur dengan ruang lingkup,
keilmuan serta pengalamannya.
Syahdan,
ada kisah seorang murid Ahmad Dahlan yang akan pergi naik haji, maka ibarat
kata pepatah menyelam sambil minum air, Ahmad Dahlan meminta sang murid
untuk menjadi diploma, mewakili rakyat Indonesia pada umumnya dan menyampaikan
aspirasi yang dimiliki Ahmad Dahlan pribadi pada Wizaratul Hajj di
Mekkah yang berhubungan dengan kaum muslimin.
Tentu sang murid
yang masih awam sangat takut dan tidak pede, namun berkat motivasi dari
Ahmad Dahlan, bersedialah murid itu untuk menjadi pemimpin yang akan
menyampaikan amanah ummat demi terciptanya ni`matul ummat.
Eklektisisme yang menonjol dalam konteks
ideologi Ahmad Dahlan juga sangat nampak pada ‘pemurnian ajaran Islam’, dimana
gerakan ini berorientasi pada anti TBC (takhayul, bid`ah dan Churafat).
Gerakan anti TBC
ini pada awalnya membuahkan cara pandang yang berbeda dengan tradisi lama dalam
menjalankan Islam, banyak respon yang pro dan tidak sedikit juga yang kontra.
Misalnya dalam hal upacara Tahlilan, Tawassul, Maulidan, dan lain-lain.
Ringkasnya,
menurut doktrin Muhammadiyah, tak perlu kita mengkultuskan orang meninggal
dengan upacara Tahlil untuk mendoakan mayyit, cukuplah berdoa
untuk kebaikannya di akhirat, terlebih membuang-buang rasanya jika harus
membuat aneka macam masakan yang terkesan pemborosan jika nilai yang di cari
hanya untuk mendoakan mayyit. Begitu pula dengan Tawassul. Bertawassul
kepada wali bahkan nabi untuk kebutuhan hajat kita dianggap tidak
perlu, sebab jika kita berdoa kepada Allah, maka sesungguhnya dia Maha Mendengar,
terlebih lagi ada FirmanNya ; ud`uuniy astajiblakum, berdoalah kalian,
niscaya akan Aku penuhi. Demikian juga dengan Maulidan, Maulidan yang
biasa dirayakan untuk merefleksikan kelahiran Nabi Muhammad dianggap bid`ah karena
Nabi saja dimasa hidupnya tidak pernah merayakan hari lahirnya sendiri.
Inilah yang
dimaksud dengan pemurnian Islam, sebab sebelumnya tidak pernah ada ahwal seperti
ini di era kejayaan Islam. Kemungkinan hal ini lahir dari pengaruh ajaran
Hindu-Budha yang mengakar pada orang Jawa.
Pemurnian dalam
Muhammadiyah dimaksudkan sebagai pemeliharaan terhadap keotentikan ajaran
sesuai Quran dan Hadits, serta pemurnian yang yang dilakukan Muhammadiyah hanya
berkisar pada masalah dan problema furu`iyyah (cabang) saja.
Disamping itu,
Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai Bapak Modernis tidak meninggalkan adat dan
budaya yang ada, dengan catatan adat dan budaya itu relevan dengan ajaran
Islam. Contohnya adat Sekaten. Sekaten yang pada
hakikatnya adalah wujud persaksian kita merupakan implementasi pertama dalam
rukun Islam. Dengan demikian, masyarakat secara sadar mengetahui makna syhadat.
Kesimpulan
Sungguh sombong dan angkuh rasanya bila kita memahami sepak terjang
perjuangan Ahmad Dahlan dari berbagai aspek kehidupannya dalam buku Matahari
Pembaruan, namun kita tidak bisa memberikan poin kesimpulan yang pas.
Maka penulis
berusaha menghilangkan kesombongan dan keangkuhan itu dengan merangkai kata,
walaupun dengan sadar, penulis bisa melihat jika rangkaian kata ini sungguh
tidak patut dan terkesan jauh dari sempurna.
Pemikiran Ahmad
Dahlan bila dianalisa dengan pisau eklektisisme akan memberikan beberapa
kesimpulan, seperti ;
a.
Beragama
tentulah dengan beramal, artinya berkarya dan berbuat sesuatu, serta melakukan
tindakan sesuai dengan pedoman Quran dan Hadits.
b.
Kunci
kemajuan ummat adalah ilmu pengetahuan.
c.
Untuk
mencari kebenaran, orang tidak boleh merasa benar sendiri. Dan berusaha merubah
pikiran dengan sikap terbuka.
d.
Tidak
boleh mudah mencari kesalahan orang lain, sebab manusia tidak luput dari
kesalahan yang jujur (by honest mistake), keteledoran (by negligence),
dan ada pula yang memang berniat jahat (by malice).
Daftar
Bacaan